TEMPO.CO, Yogyakarta - Tanah milik Kadipaten Pakualaman diusulkan menjadi tempat relokasi bagi warga yang terkena dampak pembangunan bandar udara di pesisir selatan Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Opsi tersebut muncul dari hasil diskusi antara pemerintah DI Yogyakarta dan pemerintah Kulon Progo untuk mengatasi tuntutan relokasi gratis dari warga terdampak.
“Jadi ada alternatif, bagaimana relokasi memanfaatkan palilah dalem (Adipati Paku Alam X) untuk menggunakan tanah Pakualaman,” kata Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo saat ditemui seusai diskusi di Kepatihan Yogyakarta, Kamis, 10 Maret 2016.
Sedangkan alternatif lainnya adalah menggunakan tanah kas desa untuk tempat relokasi. Menurut Hasto, usulan tersebut muncul karena penggunaan tanah Pakualaman diharapkan bisa menekan biaya relokasi. Sebab, apabila menggunakan tanah kas desa, pemerintah Kulon Progo sebagai pihak yang menyediakan relokasi harus mengeluarkan banyak biaya untuk membelinya.
“Dan warga terdampak yang menggunakannya akan membelinya dari pemerintah, tidak gratis,” kata Hasto.
Apabila menggunakan tanah Pakualaman, lanjut Hasto, warga terdampak tidak mempunyai hak milik, tapi statusnya adalah hak pakai. Tanah-tanah Pakualaman di kawasan Temon antara lain berada di Kaligintung, Siwates, dan seputaran permakaman Girigondo.
“Jadi magersari. Kan juga enggak bayar, tapi enggak bisa memiliki. Makna gratis kan tidak keluar uang,” kata Hasto.
Opsi-opsi tersebut masih sebatas kajian pemerintah karena belum menghadirkan pihak Pakualaman untuk ikut berembuk bersama. Sedangkan hasil kajian legalitas relokasi gratis yang dimintakan Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, menurut Hasto, tidak memungkinkan terpenuhinya syarat legal formal. Sebab, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pemanfaatan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum tidak mengatur mengenai relokasi tanpa bayar.
“Jadi apa mungkin (Kejati) membolehkan? Kan enggak mungkin,” kata Hasto.
Pengageng Kawedanan Kaprajan Kadipaten Pakualaman Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Bayudono Suryoadinegoro menyatakan belum bisa memberi komentar karena pemerintah belum mengundang Pakualaman untuk membicarakan hal tersebut.
“Nanti pun perlu ada pembicaraan internal Pakualaman karena tanah Pakualaman kan milik semua kerabat,” kata Bayudono saat dihubungi Tempo.
PITO AGUSTIN RUDIANA