TEMPO.CO, Banyuwangi - Kantor Unit Pelabuhan Penyeberangan (KUPP) kelas III Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, memperketat penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) di Selat Bali mulai Kamis, 9 Maret 2016. Pengetatan itu dilakukan setelah KMP Rafelia 2 tenggelam pada Jumat, 4 Maret 2016.
Kepala KUPP Ketapang Isprianto mengatakan petugas kapal saat ini harus mengikat seluruh kendaraan (lashing) dan mencatat manifes penumpang. Ketentuan itu, kata dia, sebenarnya telah tertuang dalam Peraturan Dirjen Perhubungan Darat. Pengetatan syarat SPB diikuti dengan perpanjangan bongkar-muat kapal dari 12 menit menjadi 20 menit. “Sebelum peristiwa Rafelia II, kewajiban tersebut masih longgar,” kata Isprianto di kantornya, Kamis, 9 Maret 2016.
Isprianto mengakui longgarnya pelaksanaan aturan itu karena jumlah kapal yang beroperasi di Selat Bali terlampau padat. Ada 53 kapal yang memiliki izin beroperasi di Pelabuhan Ketapang dan Pelabuhan Gilimanuk. Namun yang beroperasi dibatasi 34 unit per hari. Meski begitu, jumlah tersebut dianggap masih padat. Sebab, batas idealnya hanya 25 unit.
Banyaknya kapal yang beroperasi, kata Isprianto, menyebabkan waktu bongkar-muat kapal hanya 12 menit. Dengan waktu yang sempit itu, kata dia, tidak mungkin mengikat seluruh kendaraan besar. “Untuk mengikat satu truk atau tronton saja butuh 10 menit,” ucapnya. Padahal mengikat kendaraan besar sangat penting untuk menjaga keseimbangan saat kapal terkena empasan ombak. (Baca: Begini Kisah Penyelam Mencari Korban Kapal Rafelia 2)
Sedangkan soal manifes penumpang, kata Isprianto, sebelumnya tidak pernah dilakukan. PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan sebagai operator pelabuhan hanya mendata jumlah kendaraan berdasarkan pembelian tiket. Namun, saat ini, petugas kapal harus mendata identitas keseluruhan, meliputi nama, jenis kelamin, usia, dan alamat. Setelah manifes penumpang dan pengikatan kendaraan dilakukan, KUPP Ketapang baru mengeluarkan SPB.
Pengetatan itu merupakan evaluasi dari tenggelamnya KMP Rafelia 2. Saat itu jumlah manifes penumpang menjadi persoalan tersendiri. Awalnya, otoritas pelabuhan merilis manifes berjumlah 51 orang. Tapi belakangan jumlah penumpang dan ABK ternyata mencapai 82 orang. Kapal milik PT Dharma Bahari Utama itu juga diketahui tidak mengikat kendaraan sesuai dengan SOP.
Petugas lapangan PT Trisakti Lautan Mas, Iwan Maydarwan, salah satu perusahaan pelayaran di Banyuwangi, mengatakan mengikat kendaraan sebenarnya telah lama diketahui anak buah kapal. Namun aturan tersebut tidak pernah terlaksana karena tidak ada teguran dari KUPP. Alasan lainnya ialah waktu bongkar-muat yang terlalu sempit. “Padahal peralatan untuk mengikat kendaraan sudah lengkap,” tuturnya. (Baca: Rafelia 2 Tenggelam, Polisi Panggil Syahbandar dan ASDP)
IKA NINGTYAS