TEMPO.CO, Surabaya - Bayi ankole watusi atau banteng Afrika milik Perusahaan Daerah Taman Satwa (PDTS) Kebun Binatang Surabaya (KBS) yang lahir pada 3 Maret 2016 akhirnya mati. Kematian itu diduga kuat karena kondisi kesehatannya masih belum stabil hingga enam hari setelah lahir.
“Bayi itu mengembuskan napas terakhirnya pada hari Rabu, 9 Maret 2016, pukul 01.05,” kata Pejabat Sementara (Pjs) Direktur Utama KBS Aschta Boestani Tajuddin kepada Tempo, Kamis, 10 Maret 2016.
Menurut Aschta, bayi itu juga mengalami gangguan kesehatan pada kaki kanannya, sehingga apabila ingin menyangga kaki kanannya tersebut, dia harus diperban supaya bayi itu bisa berdiri. “Nah, kondisi ini yang membuat bayi ini kesulitan mendekat untuk menyusu kepada induknya,” ucapnya.
Padahal, kata Aschta, kolostrum yang hanya didapatkan dari susuan induk betina itu sangat penting bagi perkembangan tubuh bayi banteng. Sehingga, apabila banteng sulit menyusui maka kesehatannya pun akan terganggu. “Bayi mamalia sangat membutuhkan kolostrum itu,” ujarnya.
Kolostrum diketahui mengandung banyak gizi dan zat-zat pertahanan dan memasok zat pendukung kekebalan dan pertumbuhan. Kolostrum golongan bovine (sapi dan termasuk banteng) empat ratus kali lebih kaya akan faktor imun daripada kolostrum manusia.
Kepala Seksi Klinik, Karantina, dan Nursery Irmanu Ommy Noorindra mengatakan pada pekan pertama bayi watusi ini memang sulit untuk beradaptasi. Pasalnya, kaki yang tidak bisa berdiri tegak membuat kesulitan untuk menyapih kepada induknya. “Padahal, saat itu kami juga memberikan tambahan nutrisi berupa susu formula setiap dua jam sekali sebesar 144 cc, tapi belum berhasil,” katanya.
Setelah meninggal, bayi diotopsi pada 9 Maret 2016 dengan mengambil sampel organ tubuh yang dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut tentang kematian bayi tersebut. "Hasil otopsi menunjukkan beberapa organ mengalami gangguan, yang diduga akibat kondisi daya tubuh yang amat rendah karena tidak menerima kolostrum," ucap Irmanu.
MOHAMMAD SYARRAFAH