TEMPO.CO, Ponorogo - Puluhan warga dan sivitas Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo, Jawa Timur, memadati observatorium kampus setempat, Rabu pagi, 9 Maret 2016.
Mereka rela mengantre untuk menyaksikan gerhana matahari menggunakan sebuah teropong yang tersedia. Secara bergantian, mereka juga memakai kacamata khusus untuk melihat fenomena alam tersebut.
Novi Fitia Maliha, dosen ilmu falak Jurusan Syariah, STAIN Ponorogo, mengatakan pengamatan gerhana yang dilakukan dengan mengundang warga baru pertama kali dilakukan pihak kampus. Hasilnya cukup memuaskan. Setiap fase konjungsi terlihat jelas dan terekam dengan baik karena cuaca cukup cerah selama gerhana berlangsung sejak pukul 06.20 hingga 08.37 WIB.
“Alhamdulillah cuaca sangat mendukung dan semua berjalan baik,” kata Novi setelah melakukan pengamatan gerhana di observatorium kampus.
Baca Juga: Seperti Apa Gerak Gerhana Matahari 2016 di Indonesia?
Dalam pengamatan itu diketahui proses tertutupnya matahari oleh bulan. Matahari yang awalnya terlihat bulat berangsur berkurang hingga menyerupai bulan sabit. Hingga pada puncaknya, sinar matahari meredup selama beberapa menit. “Tidak tertutup total karena di sini (Ponorogo) hanya separuh gerhana mataharinya,” ujar Novi.
Seorang warga, Siti Noor Aini, mengapresiasi upaya STAIN Ponorogo yang memperbolehkan warga menggunakan teropong untuk menyaksikan gerhana matahari. Menurut dia, hal tersebut dapat mengubah mitos tentang fenomena alam langka ini.
“Kalau dulu (gerhana matahari pada 1983) warga takut ke luar rumah karena takut buta,” ucapnya, yang ikut menyaksikan gerhana matahari menggunakan teropong milik STAIN Ponorogo itu.
Namun sekarang, Siti melanjutkan, warga justru penasaran ingin menyaksikan fenomena alam tersebut. Mereka juga mengabadikan momen tersebut dengan mengambil gambar menggunakan ponsel yang bagian lensanya dilapisi plastik bekas rontgen dan kacamata khusus. “Kalau sekarang (warga) malah ingin tahu.”
NOFIKA DIAN NUGROHO