TEMPO.CO, Yogyakarta - Seorang waria menggelar sajadah. Berteman gerimis sore, ia salat asar di ruang tengah pondok pesantren. Bola matanya yang indah menjadi basah. Seusai salat, kawannya bertanya, kenapa kamu berkaca-kaca hendak menangis? “Saya tadi mendoakan keselamatan sesama muslim,” jawab dia.
Ia yang menjadi santri pondok pesantren waria sudah belajar hingga Iqra empat. “Saya sedih karena belajar Iqra jadi terputus,” kata waria itu. Kegiatan belajar mengajar agama Islam dan ibadah dipaksa berhenti setelah belasan orang atas nama Front Jihad Islam (FJI) menggeruduk Pondok Pesantren Waria Al-Fattah di Dusun Celenan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelompok itu mendatangi pondok pesantren itu pada 19 Februari 2016.
Pondok pesantren waria itu berdiri di tengah perkampungan penduduk. Di sekitarnya terdapat rumah-rumah tradisional berarsitektur Jawa di kawasan Kotagede Yogyakarta. Untuk menuju ke sana, orang harus melalui gang sempit. Pesantren itu ada di kawasan Kotagede sejak tahun 2014. Sebelumnya ponpes berdiri di Notoyudan dan mulai ada pada 2008. Ketuanya waktu itu bernama Maryani. Bangunan pesantren menempati rumah kontrakan Maryani.
Berdirinya pesantren waria ini bermula dari rutinitas Maryani mengikuti pengajian Kiai Haji Hamrolie Harun, seorang ustad pengasuh pengajian Al Fatah di kawasan Pathuk, Yogyakarta. K.H. Hamrolie juga yang memberi nama Pondok Pesantren Al-Fattah. Nama itu berasal dari pengajian mujahadah yang diselenggarakan K.H. Hamrolie.
Ia adalah pembina pondok itu. Tahun 2013, K.H. Hamrolie meninggal. Setahun kemudian, Maryani meninggal. Ponpes pindah ke kawasan Kotagede di rumah Shinta Ratri, ketua pondok pesantren yang sekarang, pada 2014. Pengasuh Pesantren Nurul Ummahat Kotagede Kiai Abdul Muhaimin kini menjadi pembinanya.
Kegiatan belajar agama pesantren waria selama ini tidak pernah diributkan oleh penduduk yang tinggal di sekitarnya. Di kawasan Kotagede, kegiatan belajar agama Islam berlangsung setiap hari Ahad pukul 17.00-21.00. Di dalam pondok pesantren itu terdapat papan yang bertuliskan jadwal kegiatan. Di antaranya belajar Iqra, tadarus, salat berjemaah, dan diskusi. Setiap Ahad sore setidaknya 15 santri yang belajar agama Islam.
Selain menggelar kegiatan rutin, pesantren waria juga agenda tahunan. Saat Ramadan tiba, mereka rutin menggelar tarawih, tadarus Al-Quran, hingga sahur dan berbuka bersama. Menjelang Idul Fitri, mereka berziarah bersama ke makam keluarga dan waria yang sudah meninggal.
Pondok pesantren itu kerap dikunjungi oleh mahasiswa S1 maupun S2 yang melakukan riset. Di dalam pondok itu juga terdapat banyak piagam dari berbagai lembaga yang menunjukkan pondok itu punya prestasi.
Ketua Pondok Pesantren Waria Al-Fattah, Shinta mengatakan kini para santri sementara beribadah di rumah masing-masing. Para santri, kiai, dan ustad berembuk dan sepakat ibadah dilakukan di rumah masing-masing. “Kami harus mencari tempat lain. Kondisinya tidak memungkinkan,” kata Shinta di kantor Lembaga Bantuan Hukum, Selasa 8 Maret 2016.
Ia menyatakan tidak bisa menerima penutupan pesantren itu. Untuk memfasilitasi waria belajar agama Islam dan beribadah, maka akan dibuat majelis taklim. Ini adalah organisasi pendidikan luar sekolah atau nonformal yang mendalami Islam.
Pengasuh Pesantren Nurul Ummahat Kotagede Kiai Abdul Muhaimin mengatakan waria punya hak untuk menghayati dan belajar agama. “Waria makhluk Tuhan. Dengan basis kemanusiaan, saya mendampingi waria belajar agama,” kata Kiai Abdul Muhaimin.
Ia menyayangkan orang-orang yang menutup pondok itu. Menurut dia, penduduk yang tinggal di sekitar pondok pesantren waria tidak pernah terganggu. Mereka tidak hanya menggelar pengajian, melainkan juga Syawalan dan parade busana muslim.
Ustad yang mendampingi waria di pondok Al-Fattah, Arif Nuh Safri, mengecam larangan belajar agama dan ibadah untuk waria. Menurut dia, menjalankan ibadah merupakan hak setiap orang, tidak memandang dia waria atau bukan waria. Arif yang mendampingi waria sejak tahun 2010 menegaskan tidak ada kegiatan yang menyimpang di pondok itu. “Orang mau ibadah kok harus taubat,” kata Arif.
SHINTA MAHARANI