TEMPO.CO, Surabaya - Surabaya akan menjadi tuan rumah pertemuan Asian Congress of Neurological Surgeons (ACNS) ke-11 yang akan digelar pada 8-12 Maret 2016. Acara itu akan diikuti sekitar 500 dokter ahli bedah saraf dari 44 negara se-Asia dan beberapa negara Eropa.
“Surabaya bersaing ketat dengan Abu Dhabi, Qatar, Uni Emirat Arab. Apalagi fasilitas kalah jauh dari mereka. Tapi keindahan alam dan kultur akhirnya membuat kota ini terpilih,” kata Presiden Penyelenggaraan Kongres, Prof. Dr. dr. Abdul Hafid Bajamal, Sp, BS (K), di Universitas Airlangga Surabaya, Selasa, 8 Maret 2016.
Kongres dua tahunan ini akan menghadirkan 120 pembicara asing dari benua Asia, Eropa, dan Amerika. Selain transfer ilmu dan kemampuan bedah antar tenaga bedah saraf Asia, pertemuan ini juga menjadi ajang pamer teknologi terbaru yang dimiliki Indonesia.
Pada hari kedua penyelenggaraan kongres, Indonesia akan memperkenalkan operasi bedah saraf pertama berstandar internasional menggunakan konsep 3D (tiga dimensi). "Konsep 3D ini tidak semua negara punya. Di Asia Tenggara ini, kita yang termasuk yang memulai. Singapura dan Malaysia saja belum," kata profesor bedah saraf yang akrab disapa Hafid ini.
Dalam rangkaian kongres nanti, Universitas Airlangga sebagai pemilik mikroskop 3D akan mendemonstrasikan teknik penggunaan dan anatominya. Sejak 2015, Unair menggunakannya sebagai alat pendukung pengajaran mahasiswa S1, S2, S3, dan pendidikan spesialis.
“Harganya miliaran. Mulai tahun ini akan digunakan untuk operasi,” kata Dekan FK Unair. Prof. Dr Sutoyo, SpU (K).
Sebagai tuan rumah, dokter bedah saraf Indonesia akan memperlihatkan berbagai alat dan tenaga medis yang tidak kalah mumpuni dengan nagara lain. Menurut Sutoyo, hal itu akan dibuktikan dengan kemampuan bedah saraf Indonesia yang sejajar dengan para ahli bedah dari luar negeri.
"Ngapain banyak masyarakat berobat di luar negeri. Dokter kita itu mampu, alat medis juga canggih-canggih,” katanya.
Kongres juga membahas penanganan kebencanaan antar negara. Selama ini, upaya tanggap bencana dipandang dari sisi pemulihan material. Padahal, setiap negara perlu bersinergi satu sama lain sehingga memerlukan pembahasan bersama.
Selain itu, akan ada pelatihan dan operasi secara live menggunakan teknik bedah stereotaktik bagi penderita gangguan pergerakan dan pelatihan bedah epilepsy menggunakan teknologi 3D interaktif.
ARTIKA RACHMI FARMITA