TEMPO.CO, Bandung - Kalangan peneliti gempa bumi di Bandung mencatat keanehan dan keunikan terkait dengan informasi gempa dan peringatan dini tsunami yang bersumber di Samudra Indonesia, Rabu malam, 2 Maret 2016. Catatan pentingnya yakni angka koreksi skala gempa yang sempat menggegerkan masyarakat dan lamanya pencabutan peringatan bahaya tsunami.
Peneliti gempa bumi dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, mengatakan koreksi skala gempa dari magnitudo 8,3 menjadi 7,8 terhitung signifikan. “Update skala gempa memang harus dilakukan, tapi ini cukup unik karena koreksinya cukup besar. Saya belum paham perbedaan skalanya itu kenapa,” katanya, Kamis, 3 Maret 2016.
Menurut Irwan, di negara mana pun, proses pengolahan data gempa bersifat desentralisasi atau tidak terpusat di satu lokasi. Adapun alat pemantau gempa di lautan belum serapat atau sebanyak di daratan. “Buoy juga menarik karena bisa memberi peringatan dini tsunami lebih cepat, tapi kepastian tsunami tidak ada itu cukup lama sampai 1 jam 20 menit,” ujarnya.
Peneliti gempa bumi dari Pusat Penelitian Geo Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung, Eko Yulianto, mengatakan pemerintah perlu memperbaiki sistem peringatan gempa di pesisir barat Sumatera. Eko mengkritik keluarnya peringatan dini pertama yang tidak lengkap akibat sistem yang kurang memadai sehingga perhitungan gempa kurang lengkap. “Buoy di laut rusak, sehingga peringatan dini kedua pun tidak signifikan,” katanya.
Pada peringatan dini ketiga, yakni tsunami sampai di daratan, pemerintah mengandalkan alat pemantau pasang surut air di pelabuhan atau saksi mata. Kondisi ini, kata Eko, sudah kerap dikritisi peneliti gempa sejak 2012.
Gempa yang bersumber di Samudra Indonesia itu mengguncang Mentawai dan Sumatera Barat pada Rabu, 2 Maret 2016, pukul 19.49 WIB. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) secara resmi mengakhiri peringatan dini tsunami tepat pukul 22.32 WIB setelah mengeluarkan peringatan dini tsunami.
ANWAR SISWADI