TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan anggaran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) sangat kecil. “Keterbatasan anggaran pemerintah, jadi tidak dianggarkan secara khusus,” katanya di kantornya, Kamis, 3 Maret 2016.
Sutopo menyebutkan, di Raja Ampat, anggaran khusus untuk menanggulangi bencana hanya Rp 600 juta setiap tahun. Padahal daerah itu termasuk wilayah rawan terjadi gempa dan tsunami.
Selain itu, Indonesia membutuhkan sedikitnya seribu unit sirine untuk peringatan jika terjadi gempa berpotensi tsunami. Sirine akan dipasang dari ujung Sumatera hingga ujung Indonesia bagian timur, yang berpotensi terjadi bencana.
Satu unit sirine akan berbunyi dengan radius mencapai 20 meter. Sutopo mengatakan sirine harus dalam kondisi siap 24 jam. Anggaran untuk satu unit sirine bisa menghabiskan dana sekitar Rp 100 juta. Sirine akan dipasang menggunakan sistem satelit yang terhubung langsung dengan BNPB.
Sutopo mengatakan pemerintah pusat hanya memberikan anggaran khusus untuk antisipasi bencana pada 2013-2014. Anggaran itu berjumlah sekitar Rp 1 triliun, yang digunakan untuk operasional dan pemeliharaan sirine, shelter penampungan, dan alat pendeteksi tsunami di laut (Buoy Tsunami).
Sementara itu, menurut Sutopo, Indonesia membutuhkan Bouy Tsunami minimal 22 unit. Alat itu akan di pasang di laut sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, hingga bagian timur Indonesia. Saat ini ada lima Buoy yang bisa diandalkan.
Kelima alat itu di antaranya satu unit milik India yang terpasang di barat Aceh, satu unit milik Thailand dipasang di Laut Andaman, dua unit milik Australia dipasang di selatan Sumba, dan satu unit milik Amerika yang dipasang di utara Papua.
Sutopo menambahkan, sebenarnya Indonesia mampu membuat Buoy dengan anggaran Rp 4 miliar. Sementara itu, butuh dana Rp 30 miliar setiap tahun untuk anggaran operasional dan pemeliharaan Buoy. Ia berujar, saat ini delapan Buoy milik Indonesia, 10 Buoy dari Jerman, satu Buoy dari Malaysia, dan dua Buoy dari Amerika sudah tidak berfungsi. “Tidak ada biaya pemeliharaan dan operasional,” ujarnya.
DANANG FIRMANTO