TEMPO.CO, Tangerang Selatan - Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengatakan kepolisian akan mengusut Aman Abdurahman, pemimpin kelompok Tauhid wal Jihad, dalam kasus teror bom di Jalan Thamrin yang terjadi pertengahan Januari lalu. Menurut dia, peran Aman cukup besar dan dalam dalam kasus ini.
“Dia itu mastermind, akan kami usut perannya dalam bom Thamrin,” kata Tito saat menjadi pembicara dalam kuliah umum bertajuk The Map of Terrorist Networks in Southeast Asia after Jakarta Attack di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis 3 Maret 2016.
Aman kini mendekam di penjara Nusakambangan, Cilacap Jawa Tengah. Aman ditangkap pada 2010 dan dihukum 9 tahun penjara setelah terbuki menyokong pelatihan militer di Aceh. Sebelumnya, Aman ditangkap pada 2003 dalam perkara kepemilikan bom di Cimanggis, Depok. Dia keluar dari penjara 2008.
Belakangan selama di penjara Nusakambangan, Aman berbaiat kepada kelompok Negara Islam Ira dan Suriah (ISIS) pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi. “Aman akan bebas dari penjara pada 2018. Setelah bebas akan diusut lagi kasus terorisme Thamrin,“ kata Tito. Bom Thamrin, kata Tito, jelas terkait dengan ISIS karena dihubungkan oleh Bahrun Naim yang menjadi penghubung ISIS di Suriah dan aktivis ekstremis di Indonesia.
Sebelumnya, seperti dimuat majalah Tempo edisi 18-24 Januari 2016, petinggi di Detasemen Khusus 88 menyebutkan empat pelaku teror Thamrin, yakni Dian Joni Kurniadi, Sunakim alias Afif, Muhammad Ali, dan Ahmad Muhazin, menemui Aman di Nusakambangan pada Desember tahun lalu.
Kepada keempatnya, Aman menyatakan, "Sekarang waktunya melakukan 'amaliyah'," katanya. Adapun amaliyah merupakan istilah untuk melakukan serangan. Sunakim merupakan pengikut Aman. Teror di kawasan Thamrin, Jakarta, menewaskan tujuh orang dan melukai 23 lainnya.
Akhir Januari lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan Bahrun Naim dan Aman Abdurrahman berkomunikasi melalui tamu yang mengunjungi Aman di penjara Nusakambangan.
Ancaman terorisme terhadap Indonesia belum akan padam. Apalagi, kata Tito, kini hampir 500 warga negara Indonesia yang “berjihad” ke Suriah suatu saat akan kembali ke tanah air. Dia membandingkan dengan 197 warga Indonesia yang ikut berperang di Afganistan pada akhir 1980-an. Saat mereka kembali ke Indonesia melakukan serangan teror di Bali, menyasar gereja, kedutaan Australia, dan sejumlah sasaran di Jakarta. “Suriah kini menjadi melting pot dan tempat mereka belajar kekerasan,”kata Tito.
Selain mendatangkan Tito, kuliah umum di UIN juga mendatangkan ahli terorisme internasional dari S. Rajaratnam School of International Studies NTU Singapura, Rohan Gunaratna. Menurut dia, orang-orang yang pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS membentuk jaringan baru, memiliki keterampilan berperang, dan ideologi ekstrisme yang kuat. “Negara harus kapabel untuk untuk melawan serangan teroris,” kata penulis buku laris Inside Al Qaeda: Global Network of Terror itu.
Karena itu, kata Rohan, agen untuk melawan gerakan teroris tidak cukup hanya kepolisian dan militer, yang bergerak dalam penindakan hukum dan keamanan. Akademikus, tokoh agama dan ustad yang berpaham Islam moderat dan masyarakat, menurut dia, harus terlibat mencegah ideologi terorisme yang menghalalkan kekerasan itu menyebar dengan luas ke masyarakat. “Ancaman terorisme di Indonesia bukan berskala lokal atau nasional, tapi melibatkan jaringan global,” ujarnya.
AHMAD NURHASIM