Ustadz Mahmud Farid, 38 tahun, yang menyandang titel doktorandus dari Universitas Siliwangi Tasikmalaya, lebih terus terang menceritakan kejadian yang dialaminya. Mahmud ketika ditemui TEMPO Interaktif belum mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Berjalan pun dia belum mampu. Mukanya pucat. Menurut Mahmud, di dadanya ada bekas sundutan rokok. Tulang iganya pun terasa sakit bisa disentuh. Tapi, alumnus Pesantren Gontor Jawa Timur tahun 1984 ini menolak anggapan bahwa Peristiwa Tasikmalaya pada 26 Desember 1996 lalu itu merupakan wujud solidaritas untuk mereka. Mereka diwawancara di pondoknya, Minggu 29 Desember 1996. Petikannya:
Ajeungan Makmun
Banyak yang bilang kerusuhan Tasikmalaya dipicu oleh kasus santri dan ustadz Condong yang dianiaya polisi karena anaknya dihukum oleh pesantren ini?
Oh... bukan. Pesantren kami tidak ada hubungan dengan kerusuhan yang menyebabkan kerusakan itu. Pihak kami sudah menganggap tidak ada apa-apa. Karena sudah ada kesepakatan dengan Kapolres (Tasikmalaya, Letkol R. Suherman, Red) bahwa pihak kami tidak akan menuntut oknum polisi yang melakukan penyiksaan terhadap santri dan anak saya.Tapi, Kapolres akan menindak anak buahnya, yang oknum itu, sesuai dengan jalur hukum. Jadi, tentang kerusakan itu saya mendengar dari kejauhan. Bahwa terjadi kerusuhan di kota, saya merasa prihatin dan mengutuk oknum yang melakukan perusakan. Kenapa hal ini bisa terjadi demikian. Saya tidak tahu dari mana sumbernya kerusuhan itu. Di sini santri-santri dari seluruh pesantren tidak terlibat dalam kerusuhan. Malah kata Pangdam dan Bupati, santri tidak ikut merusuh tapi malah ikut membantu (memulihkan keadaan). Itu yang dikatakan beliau-beliau waktu berkumpul di Masjid Agung Tasik.
Jadi tak ada santri Condong yang ikut terlibat?
Oh nggak ada...nggak ada. Malah saya menyuruh santri pada hari itu untuk tidak keluar dari lingkungan pesantren ini.
Tersebarnya isu bahwa Ustadz Mahmud meninggal, termasuk juga isu Ajeungan (kiai, Red) meninggal, dari mana datangnya?
Nggak tahu. Mungkin dari oknum-oknum perusuh atau oknum-oknum yang memanfaatkan situasi keruh di sini. Padahal di sini tidak keruh. Persoalan di sini sudah jernih. Mungkin yang memakai isu itu oknum garong (maling). Atau tukang mabuk. Mereka leluasa mencari keuntungan.
Tapi, bukankah Ustadz Mahmud di kantor polisi itu mendapat penyiksaan?
Nanti soal itu tanyakan saja kepada Kapolres atau Pangdam. Jangan tanya pada kami. Karena kami sudah menjelaskannya kepada beliau semua. Jadi kalau ada yang menanyakan itu lagi, langsung saja bertanya pada beliau-beliau tadi.
Berapa hari Ustadz Mahmud di kepolisian?
Tidak lama. Setelah pemeriksaan itu mereka pulang bersama-sama saya. Kemudian saya dipanggil oleh Kapolres untuk berdamai. (Ustadz Mahmud menyela,"Begini saja. Pokoknya kerusuhan di Tasik itu tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian di pesantren ini.").
Pada saat Ajeungan mendampingi Ustadz Mahmud ini, apa saja yang dilakukan oleh pihak kepolisian?
Saya tidak tahu itu. Hanya saja saya dipanggil Kapolres dan ia mengatakan bahwa oknum-oknum polisi yang menyiksa itu akan ditindak sesuai aturan. Pihak Kapolres meminta maaf atas peristiwa itu. Jadi itu saja.
Kapan Ajeungan dipanggil oleh Kapolres?
Hari Senin (23 Desember 1996), sekitar jam 14. 00. Kemudian Bapak Kapolres sendiri mengadakan ishlah (perdamaian) dengan anak-anak saya. Jadi tidak ada apa-apa. Kita sudah selesai.
Apakah setelah hari Senin itu Ajeungan dan Ustadz Mahmud tidak datang lagi ke kantor polisi?
Tidak. Cuma, Kapolres bilang kalau saya diperlukan agar bersedia datang ke kantor polisi. Dan untuk memperkuat bahwa persoalan ini selesai, pada hari Senin itu sekitar jam 17. 00 Kapolres datang kemari lagi. Jadi sekali lagi, kami sudah tidak ada masalah. Sudah selesai semuanya.
Apakah Ustadz Mahmud sempat dibawa ke rumah sakit?
Ya, tapi cuma sebentar. Sekitar tiga jam.
Kenapa?
Karena banyak yang membesuk. Jadi dikhawatirkan akan mengganggu pasien lain. Jadi saya kira lebih baik dirawat di rumah saja.
Kabarnya pada hari Rabu (25 Desember 1996) itu ada isu Ustadz Mahmud meninggal?
Itu bohong. Itu hanya isu. Buktinya Anda lihat sendiri. Bahkan untuk menambah gejolak massa, bukan anak saya saja yang diisukan mati, saya juga diisukan demikian. Jadi ini benar-benar perbuatan pihak ketiga.
Untuk menahan amukan massa, katanya Ajeungan berbicara di radio. Apa yang Ajeungan katakan saat itu?
Saya merasa prihatin dengan orang-orang yang mengadakan perusakan. Padahal umat Islam bukan demikian jiwanya. Umat Islam itu biasa menahan diri, sabar, dan mencintai sesama umat manusia. Dan saya katakan bahwa isu saya sudah meninggal itu bohong. Saya katakan bahwa saya masih segar bugar.
Kapan pihak Pesantren Condong mendengar ada isu bahwa Ustadz Mahmud dan Ajeungan meninggal?
(Ustadz Mahmud menjawab) Hari Kamis itu kami mendengar isu itu. Jadi banyak yang datang ke sini untuk mengkonfirmasikan benar tidaknya isu itu. Ternyata itu tidak benar. Kerusuhan itu perbuatan oknum. Di Tasik selama ini belum pernah terjadi apa-apa.
Kenapa yang jadi sasaran umat non Islam dan nonpri?
Saya nggak tahu. Bahkan saya tidak setuju dan mengutuk perbuatan seperti itu.
Bagaimana hubungan umat Islam dengan umat lainnya selama ini?
Baik-baik saja. Selama ini tidak pernah terjadi sesuatu antar umat beragama. Mereka mengetahui bahwa yang merusak itu bukan umat Islam sejati. Ada saksi yang mengatakan yang merusak itu preman-preman yang memakai tato, mabuk, dan sebagainya.
Hubungan ulama dengan aparat pemerintahan, polisi, misalnya?
Sangat baik. Bahkan ada program aparat pemerintah itu berkunjung ke pesantren-pesantren untuk salat berjamaah, hari Jum'at misalnya.
Ustadz Mahmud Farid
Bisa Anda ceritakan bagaimana awalnya Anda bisa mengalami penyiksaan di kantor polisi?
Sebenarnya persoalannya sudah selesai di pesantren. Karena ini persoalan intern pesantren. Tapi tiba-tiba hari Jum'at (20 Desember 1996), Saudara Habib sebagai seksi keamanan pondok dipanggil pihak kepolisian. Karena waktu itu Saudara Habib tidak ada, maka yang datang saya dan Bapak ke kepolisian. Setelah datang ke sana kita diterima dan diminta keterangan. Setelah polisi sudah merasa cukup keterangan dari kita, maka kita diperbolehkan pulang.Namun sebelum pulang, kita diminta supaya Saudara Habib dan Ihsan untuk datang ke kantor polisi pada hari Senin (23 Desember 1996). Maka, Senin itu Saudara Habib dan Ihsan didampingi oleh saya datang ke kantor polisi. Di sana sudah ada petugas. Lalu, kami masuk dan berkenalan. Setelah itu, kita mulai menerangkan peraturan yang berlaku di pesantren. Pembicaraan itu sebagai mukaddimahlah. Tetapi tiba-tiba Saudara Habib dipukul dan dijambak rambutnya. Kemudian, ketika polisi mau memukul lagi, saya menangkis untuk melindungi Habib. Ini refleks untuk melindungi dia. Jadi tanpa direncanakan.
Siapa yang memukul Habib itu?
Bapaknya Rizal (santri di Pesantren Condong yang dihukum rendam dan diceples karena mencuri uang santri sebanyak Rp 130 ribu, Red), Nursamsi. Setelah itu, mereka, teman-teman Nursamsi, menuduh saya melawan. Kemudian, saya dikeroyok dan dibawa ke dalam. Di situ mulai terjadi penyiksaan-penyiksaan.
Sekitar jam berapa waktu itu?
Jam 08. 30.
Berapa orang yang memeriksa Anda?
Pertama kali satu orang, tapi di dalam sudah ada beberapa orang, termasuk Pak Nursamsi. Saya nggak menghitungnya.
Penyiksaan itu hanya dilakukan oleh Nursamsi?
Oh, tidak. Yang bisa saya ingat, yang menyiksa saya empat orang.
Menurut Anda, apa alasannya mereka menyiksa Anda?
Yang pertama, karena saya melawan. Yang kedua, saya mendengar ada yang bilang: "Ini yang menyiksa anak Pak Nursamsi". Jadi itu alasannya.
Yang menyiksa Anda semua laki-laki?
Iya, laki-laki semua.
Kabarnya ada seorang polwan yang terlibat?
Off the record.
Kabar ini tersebar luas?
Saya nggak tahu. Tapi, saya sudah ceritakan semuanya kepada Pangdam, Kapolres, dan Bupati.
Apakah polisi-polisi yang menyiksa itu tahu Anda ini seorang guru pesantren?
Saya sudah mengemukakan bahwa saya guru ngaji dan saya punya banyak santri. Tapi mereka tidak begitu mempedulikan.
Bagaimana proses penyiksaan itu?
Yah.....seperti biasanya. Terjadi pemukulan-pemukulan dengan tangan, disuruh push up, ditonjok, disundut rokok, dan banyak lagi.
Berapa lama berlangsungnya proses itu?
Mungkin dari jam 08.30 sampai menjelang dhuhur (sekitar jam 12.00, Red).
Apakah yang lainnya ikut disiksa?
Iya, terutama Habib. Kalau Ihsan hanya sedikit. Tapi tetap yang paling parah disiksanya adalah saya.
Mengapa penyiksaan itu mengarahnya kepada Anda, padahal yang menghukum Rizal, anak Nursamsi, adalah Habib?
Saya nggak tahu. Mungkin karena emosi.
Apakah setelah disiksa itu Anda langsung dibawa ke rumah sakit?
Nggak, kami diinterogasi dulu. Karena sebelum itu kami belum sempat diinterogasi, sudah langsung disiksa. Pada saat diinterogasi pun posisi kita sudah payah, khususnya saya. Untuk menjawab pertanyaanpun susahnya minta ampun, karena tenggorokan ini kering.
Waktu interogasi, pertanyaan apa saja yang mereka ajukan?
Pertanyaannya sudah diarahkan oleh mereka pada kasus penyiksaan anak Pak Nursamsi. Tapi karena saya bukan tersangka dalam kasus ini, jadi Saudara Habib yang mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Kapan penyiksaan itu selesai?
Setelah datang telepon, entah dari siapa, yang menyatakan supaya kasus ini diselesaikan dengan kekeluargaan. Kemudian datang Kaditsospol dari Pemda yang menghentikan penyiksaan itu.
Setelah itu Anda dibawa ke rumah sakit?
Iya, saya dibawa ke RS selama tiga jam, kemudian saya pulang. Selama dalam perjalanan memang banyak yang bertanya-tanya kenapa saya menjadi begini. Di RS pun banyak yang melayat. Sehingga itu alasan saya untuk tidak berlama-lama di RS. Bisa mengganggu pasien lain.
Kondisi Anda waktu pulang itu apakah sudah membaik?
Belum sih. Tapi daripada mengganggu orang lain mendingan saya beristirahat di rumah saja.
Apakah Anda tidak akan menuntut pihak kepolisian?
Saya tidak akan menuntut apa-apa. Saya sudah menganggap ini musibah saja. Apalagi sudah terjadi komitmen antara pihak kami dengan Kapolres bahwa tidak akan memperpanjang peristiwa ini. Pihak polisi pun akan menindak oknum-oknum polisi sesuai aturan yang berlaku. Saya kira itu sudah cukup.
Apakah Anda memperkirakan akibat penyiksaan Anda akan terjadi kerusuhan begini?
Saya tidak menyangka akan begini. Saya malah prihatin dan mengutuk kerusuhan ini.
Bukankah kerusuhan ini solidaritas terhadap Anda yang disiksa oleh oknum polisi?
Kalau mereka mengatakan bahwa ini solidaritas atau ukhuwah Islamiyah, bukan begitu caranya. Saya kira solidaritas Islam itu jika seorang muslim kena musibah, kita melayat dan mendoakan yang kena musibah itu.