TEMPO.CO, Padang - Sekitar 1.500 warga Sikabaluan di Siberut Utara masih bertahan di lokasi pengungsian akibat gempa 7,8 skala Richter yang terjadi Rabu malam, 2 Maret 2016. Mereka khawatir gempa berujung pada tsunami. Karena itu, mereka memilih bertahan di Tamairang, satu-satunya bukit yang ada di pesisir Siberut bagian utara.
“Tadi malam semua orang mengungsi, tidak ada yang tinggal di rumahnya. Ketika sudah ada kabar peringatan tsunami dicabut, ada sebagian kecil yang kembali ke rumahnya setelah tiga jam. Namun sebagian besar bermalam di pondok-pondok mereka karena membawa anak-anak,” kata Bambang Sagurung, warga Sikabaluan, Kamis, 3 Maret 2016.
Bambang mengatakan warga Siberut sudah siap siaga setiap kali ada gempa besar. Mereka langsung mengungsi ke Bukit Tamairang yang berada 3 kilometer dari Sikabaluan yang dapat ditempuh selama 15 menit dengan sepeda motor atau berlari.
Berulang kali terkena gempa besar dan sekali terkena tsunami di Pulai Pagai pada 2010, membuat masyarakat mempersiapkan diri sebaik mungkin. "Sejak gempa di Mentawai 2005, masyarakat mulai membangun pondok-pondok tempat pengungsian di Bukit Tamairang. Saat ini terdapat 150 pondok permanen yang cukup besar untuk ditempati keluarga mereka. Saya juga punya pondok untuk keluarga saya dan orang tua saya,” kata Bambang Sagurung.
Di bukit Tamairang itu juga ditanami ubi, keladi, dan pisang untuk persediaan makanan ketika warga mengungsi. “Tanaman itu selalu dipelihara, dipanen, dan ditanam kembali. Persediaan air minum juga selalu dicek, ada tempat penampungan air hujan, dan jeriken besar berisi air di tiap pondok. Selain itu, ada stok beras dan makanan lainnya untuk berjaga-jaga kalau terjadi gempa dan tsunami," kata Bambang.
Baca: Gempa Mentawai, Ini Penjelasan BMKG
Kesadaran ini, menurut dia, bukan imbauan dari pemerintah, melainkan dari masyarakat karena ditempa pengalaman mengalami gempa berulang kali. “Dulu saat pertama mengungsi banyak yang tidak sempat membawa makanan dan kelaparan, lalu terpikirlah untuk menanam pisang dan keladi, serta menyiapkan perbekalan di dalam pondok pengungsian, seperti beras dan air,” kata Bambang Sagurung.
Pondok tempat evakuasi juga sudah dilengkapi peralatan rumah tangga lainnya, peralatan memasak, bantal, selimut, tikar, bahkan kasur. “Jadi tadi malam begitu gempa, tidak ada yang terlihat membawa banyak barang, seperlunya saja. Saya bersama istri hanya membawa tas berisi surat penting, langsung naik sepeda motor ke Tamairang. iIupun sudah berdesakan di jalan yang luasnya hanya 3 meter,” kata Bambang yang sehari-hari bekerja sebagai wartawan media lokal di Mentawai.
Bambang turun dari pengungsian setelah tiga jam berlalu dan peringatan tsunami dicabut BMKG. Menurut dia, tidak ada kerusakan akibat gempa. “Warga yang bermalam di tempat pengungsian karena membawa anak-anak, juga karena tempat itu sudah nyaman untuk mereka huni,” katanya.
FEBRIANTI