TEMPO.CO, Lumajang - Konflik terkait dengan keberadaan tambang pasir liar di Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur, diibaratkan kisah dalam Mahabarata, yakni saudara saling berhadapan. Konflik di Watu Pecak berujung pada terbunuhnya Salim Kancil serta penganiayaan Tosan.
"Konflik itu menyisakan luka batin berkepanjangan, baik di kubu korban maupun kubu para pelaku," kata Abdul Hamid, tokoh penentang tambang pasir liar saat berbincang dengan Tempo, Selasa, 1 Maret 2016.
Hamid mengatakan pertarungan kepentingan antara kelompok pro tambang dan kontra tambang seperti pertarungan Baratayuda di medan Kurukshetra. Kubu kontra ialah Salim Kancil dan Tosan. Sedangkan kubu para pelaku atau pro tambang adalah bekas Kepala Desa Haryono serta Ketua Tim 12, Mad Dasir.
Sama halnya dengan perang Baratayuda, pada pertarungan kepentingan di Desa Selok Awar-Awar, sesama saudara atau kerabat bertengkar soal tambang.
Hamid dan Ikhsan, peletak dasar perlawanan terhadap penambangan pasir di Selok Awar-Awar, ternyata masih kerabat dekat Mad Dasir, pentolan Tim 12 yang merupakan pengikut Hariyono. Hamid adalah salah satu dari sejumlah orang yang menjadi target penyerangan Tim 12 beserta antek-anteknya. "Saya sebenarnya masih saudara Mad Dasir," kata Hamid.
Di sisi lain, Salim Kancil yang terbunuh dikenal juga masih kerabat dekat Hariyono.
"Kancil dan Pak Si (Sapari) masih kerabat dekat Haryono," kata Hamid.
Sapari, kata Hamid, juga menjadi target sasaran penyerangan Tim 12 pada hari terjadinya tragedi Salim Kancil, Sabtu pagi, 26 September 2015. Sedangkan Tosan bukan warga asli Desa Selok Awar-Awar. Ia baru belakangan ini bergabung dengan kelompok penentang tambang pasir.
Hamid menceritakan, awal menentang illegal mining, yakni pada Maret 2015, ia bersama Pak Si, Mad Sapi'I, pergi ke Jakarta untuk mencurahkan perhatiannya kepada ICW, Walhi, dan Presiden Jokowi. "Saya naik bus. Dua teman saya hanya bersandal jepit," kata Hamid.
Uang saku yang digunakan pergi ke Jakarta saat itu berasal dari hasil menjual gudel alias anak kerbau milik Pak Si. "Laku Rp 4 juta. Berangkatlah kami ke Jakarta," kata Hamid. Di Kantor ICW, Hamid dan dua temannya diarahkan ke Walhi.
Setelah kembali ke Lumajang, Mat Sapi'i diintimidasi oleh Tim 12 sampai ketakutan dan tak lagi aktif dalam gerakan menentang penambangan. "Mat Sapi'i mundur, masuk lah Salim Kancil."
Tosan aktif bergabung pada bulan ketujuh, 2 bulan sebelum tragedi. Hal ini diakui oleh Tosan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya. Kisah pertentangan saudara ini diungkapkan Hamid di hadapan majelis hakim dalam sidang kasus Salim Kancil.
Hamid, secara pribadi, memaafkan Mat Dasir cs. "Namun secara hukum mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Hamid.
DAVID PRIYASIDHARTA