TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tengah membuat rancangan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ada sejumlah penambahan aturan yang diusulkan, terutama terkait dengan penambahan pidana pelaku terorisme. Salah satunya tentang pencabutan paspor.
Berdasarkan kopi draf revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang Tempo terima, aturan pencabutan paspor itu disisipkan pada pasal 12. Revisi itu menyisipkan dua pasal pada pasal 12, yakni pasal 12A dan pasal 12B. Sedangkan aturan pencabutan paspor tercantum pada pasal 12 B ayat 4.
Berikut ini isi pasal 12B dari ayat 1 hingga 4.
1. Setiap orang yang menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme, atau merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
2. Setiap orang yang membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik tertulis maupun digital, yang diketahui atau patut diketahuinya digunakan atau yang akan digunakan untuk pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
3. Dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan tersebut dimaksudkan untuk melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian dari kekuasaan pemerintah yang di negara tersebut atau jika perbuatan tersebut dimaksudkan untuk meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara sahabat atau daerah lain.
4. Selain pidana pokok, setiap warga negara Indonesia yang merupakan pelaku tindak pidana terorisme, sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan paspor.
Sebelumnya, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani, mengatakan pencabutan paspor hingga mencabut kewarganegaraan sempat menjadi bahasan dalam rapat rancangan revisi undang-undang itu. Namun, menurut Arsul, pencabutan kewarganegaraan masih perlu dipertimbangkan kembali.
Alasannya, setiap orang berhak menjadi warga sebuah negara. Selain itu, pemerintah berpotensi menimbulkan ketidakjelasan pertanggungjawaban.
"Jika terjadi sesuatu pada tahanan yang merupakan warga asing, pemerintah harus lapor ke konsulat. Jika tak bernegara itu jadinya gimana?" kata Arsul, Minggu, 28 Februari 2016.
AGUNG SEDAYU