TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan membahas revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah pada April mendatang. Sejumlah usulan disampaikan untuk masuk dalam revisi undang-undang tersebut, diantaranya soal penalti bagi partai yang tidak mengajukan calon kepala daerah.
Presiden Institute Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mengatakan pemberian penalti itu untuk menghindari terulangnya calon tunggal dalam pilkada. "Jadi harus ada cara-cara untuk menghilangkan adanya calon tunggal, misal kalau partai politik tidak mengajukan calonnya maka kami usulkan agar partai itu dipenalti," kata Djohermanto usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wapres, Selasa, 1 Maret 2016.
Masukan lain adalah agar ada kelonggaran bagi PNS, TNI, dan anggota Dewan yang ingin maju berupa waktu mundur dari jabatan. Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ini meminta agar pengunduran diri calon dari PNS, TNI, dan anggota Dewan itu tidak usah waktu pencalonan, tapi saat mereka telah ditetapkan sebagai calon.
Dewan pakar Institut Otonomi daerah J Kristiadi mengatakan pemberian penalti bagi partai yang tak mengajukan calon adalah sinyal yang keras untuk partai. "Kalau partai paham, bahasanya keras sekali itu, tidak mengusulkan calon kok dihukum. Kenapa? Kamu selama ini tidak bisa mendidik kader dengan benar, kemana saja partai?" kata Kristiadi.
Bentuk penalti yang diusulkan misalnya melarang partai untuk mencalonkan kandidatnya pada Pilkada berikutnya. Pengamat politik Siti Zuhro mengatakan ketika penalti diberlakukan, harus ada perlakuan adil (fairness) bagi partai, yaitu penerapan ambang batas yang tidak terlalu tinggi. "Ambang batas tidak 22-25 persen, tapi 10-15 persen, baru ada fairness kalau ada penalti," kata Siti yang juga Dewan Pakar Institut Otonomi Daerah.
Siti mengatakan penalti ini menjadi usulan yang menonjol karena ada keprihatinan dengan adanya calon tunggal. Dalam sistem multipartai, kata dia, kehadiran calon tunggal menunjukan ada yang salah. Karena itu, revisi UU Pilkada harus memberikan penalti agar kemunculan calon tunggal tak lagi ada.
Selain itu, revisi UU Pilkada diharapkan bisa menciptakan Pilkada yang berkualitas, misalnya tak ada lagi barter politik dan politik uang. Dia menyarankan pelaku politik uang bisa dipidana penjara. "Mahar politik tidak perlu diperpanjang di 2017, vote buying bagi pemilih dikurangi," kata Siti.
Pembahasan revisi UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada rencananya dibahas DPR dan pemerintah pada April mendatang setelah masa reses DPR berakhir. Masa reses DPR akan dimulai 12 Maret hingga akhir Maret 2016. Sebelum memasuki masa reses, Kementerian Dalam Negeri diminta menyerahkan surat presiden, draf,serta naskah akademik revisi UU Pilkada ke DPR.
AMIRULLAH