TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat telah mengeluarkan larangan untuk talent laki-laki di TV berpenampilan seperti perempuan.
Hal yang dilarang termasuk gaya berbusana, riasan, bahasa tubuh dan gaya bicara. Sebagian pihak mengapresiasi hal ini. Tapi ada pula yang keberatan.
Komnas Perempuan melalui rilis yang dikirimkan kepada tabloidbintang.com, mengatakan keberatannya.
"Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencabut Surat Edaran KPI Nomor 203/K/KPI/02/16, tanggal 23 Februari 2016, yang ditandatangani oleh Ketua KPI Judhariksawan, SH, MH. Surat Edaran yang ditujukan kepada "Seluruh Direktur Utama Lembaga Penyiaran" ini akan berdampak pada terlanggarnya hak konstitusional seseorang.
Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya untuk mengkaji kembali semua aturan dengan berlandaskan Konstitusi yang merupakan sumber utama untuk membuat peraturan dan kebijakan bagi hirarki hukum dibawahnya," bunyi rilis tertanggal 29 Februari 2016.
"Komnas Perempuan menilai bahwa Surat Edaran dari KPI sudah tidak mengacu kepada Konstitusi dengan pertimbangan sebagai berikut: Surat Edaran KPI merupakan pelarangan sebuah ekspresi dan ini tidak sesuai dengan Konstitusi Indonesia terutama Pasal 28 E UUD 45, Ayat (2) dan (3) yang berkaitan dengan hak sipil dan politik, yang menjamin hak warga negara untuk berekspresi. Pasal 28 E Ayat (2) menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya." Sedangkan Ayat (3) "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat"."
Komnas Perempuan beranggapan apa yang dilakukan KPI sebagai pelarangan ekspresi yang sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia, seperti: Wayang Orang yang banyak menampilkan pria berpakaian seperti wanita, yang kemudian diejawantahkan dalam ekspresi seni lainnya, termasuk dalam komedi seperti kelompok komedi Srimulat.
Komnas Perempuan menyebut sosok pria yang melestarikan budaya dengan perannya sebagai wanita.
"Surat Edaran KPI tidak memahami tentang ekspresi gender yang ditampilkan di dalam seni dan budaya di Indonesia. Sebagai contoh maestro tari Didik Nini Thowok, yang mengharumkan nama Indonesia serta merawat kelestarian seni budaya Indonesia lewat ekspresi gender sebagai perempuan".
Komnas Perempuan mengkhawatirkan seniman yang kehilangan pekerjaan karena larangan KPI tersebut.
"Surat Edaran KPI ini terkait dengan kehidupan, pekerjaan, pendidikan masyarakat dan harkat martabat para seniman. Banyak pihak yang akan terdampak dari pemberlakuan surat edaran tersebut. KPI penting untuk terlebih dulu memilah masalah dan berfokus kualitas dan kapasitas penyiaran yang dapat memajukan hak informasi dan mencegah terjadinya pelecehan, kekerasan dan pengingkaran norma masyarakat."
Pada akhirnya, Komnas Perempuan meminta KPI membatalkan regulasi terkait pria berpenampilan seperti wanita.
"Untuk itu Komnas Perempuan meminta agar KPI mencabut surat edaran tersebut. Sebagai institusi negara, KPI wajib melindungi segala bentuk ekspresi seni budaya dan mengeluarkan kebijakan dengan meletakkan penghormatan atas hak konstitusional setiap warganegara. KPI seharusnya dapat membedakan mana substansi (kontens dan tujuan) penyiaran dan mana tuntutan profesi, serta lebih mengoptimalkan perannya dalam mengawasi kontens dan tujuan penyiaran yang lebih mendidik".