TEMPO.CO, Yogyakarta - Seniman kontemporer Indonesia, Sri Astari Rasjid, menyatakan negara perlu memberikan perlindungan rasa aman bagi kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Menghormati pilihan orientasi seksual adalah bagian penting dari nilai-nilai kemanusiaan.
Pilihan orientasi seksual seseorang, kata Astari, adalah hak asasi manusia. Negara tak bisa ikut campur melarang hak-hak LGBT. "Orientasi seksual adalah wilayah yang sangat privat," kata Astari kepada Tempo seusai jumpa pers persiapan pameran Restrospektif bertajuk “Yang Terhormat Ibu” di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis sore, 25 Februari 2016.
Duta Besar Indonesia untuk Republik Bulgaria merangkap Albania dan Makedonia melihat kalangan LGBT sebagai manusia yang banyak menyumbangkan sesuatu untuk dunia. Dia mencontohkan, sejumlah kawannya yang gay kreatif dalam seni. Sebagai seorang seniman, Astari menyatakan sikapnya yang toleran terhadap LGBT.
Dia berharap orang melihat LGBT dari sudut pandang kemanusiaan. "Orang dilihat dari apa yang mereka perbuat untuk dunia, bukan orientasi seksual maupun pilihan agama," kata Astari.
Menurut dia, fenomena LGBT bukan hal yang baru. Bila orang mau menengok sejarah raja-raja Nusantara, LGBT sudah ada. Namun, sayangnya hal itu ditutupi. Negara-negara modern yang memberikan penghargaan terhadap kemanusiaan terbuka dengan LGBT. Dia mencontohkan Amerika Serikat yang terbuka.
Astari merupakan duta besar perempuan pertama yang berlatar belakang seniman profesional. Karya-karyanya bicara soal kemanusiaan. Ia banyak mengangkat tema feminin, maskulin, budaya Jawa, simbol kebaya, tas, dan tokoh pewayangan dalam karya seninya. Pada 2016 ini, Presiden Joko Widodo mengangkatnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Bulgaria merangkap Albania dan Makedonia.
Di Indonesia saat ini bergulir perdebatan antara kalangan yang pro dan kontra terhadap LGBT. Kelompok yang pro-hak LGBT di Yogyakarta misalnya, bersuara menentang kelompok-kelompok intoleran yang dengan keras menolak LGBT.
Sebelumnya, setidaknya 150 aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi berdemonstrasi secara damai, memprotes kelompok intoleran di halaman samping gerai cepat saji McDonald's Yogyakarta, Selasa sore, 23 Februari 2016. Aktivis berkumpul dan bertahan di sekitar gerai makanan itu hingga malam hari. "Kami melawan gerakan anti-LGBT, rasis, fasis, dan represif atau menindas," kata Humas Solidaritas Pro-Demokrasi, Ani.
SHINTA MAHARANI