TEMPO.CO, Yogyakarta - Aksi intoleransi di Yogyakarta makin marak. Aktivis Solidaritas Perjuangan Demokrasi, Ani, mengatakan, sejak 2014, di Yogyakarta setidaknya terjadi 20-an kasus intoleransi dan kekerasan terhadap masyarakat sipil pro-hak asasi manusia. Sayangnya, penegak hukum tidak memberikan jaminan rasa aman.
Ani mencontohkan kasus intoleransi yang dialami kalangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT. Kelompok intoleran itu membuat kaus-kaus berisi provokasi kebencian terhadap LGBT.
"Mereka menebar kebencian. Kami akan terus bersuara melawan gerakan anti-LGBT, rasis, fasis, dan represif atau menindas," kata Ani seusai berunjuk rasa secara damai di lapangan samping gerai makanan cepat saji McDonald’s, Selasa malam, 23 Februari 2016.
Spanduk-spanduk berisi provokasi dan kebencian terhadap kalangan LGBT juga bertebaran di sejumlah tempat. Satu di antaranya di kawasan Kotagede dekat dengan tempat pondok pesantren waria. Ponpes Waria itu digeruduk kelompok intoleran pada 19 Februari 2016.
Menurut Ani, saat ini masyarakat membutuhkan jaminan rasa aman dan terbebas dari para kelompok intoleran yang makin menjamur di Yogyakarta. Ia berharap negara memberikan perlindungan terhadap hak-hak semua warga negara Indonesia, tidak justru sebaliknya membiarkan kelompok-kelompok intoleran merajalela.
Sebanyak 150 aktivis berdemonstrasi secara damai sejak sore hingga petang hari pada Selasa, 23 Februari 2016. Mereka bertahan di lokasi demonstrasi hingga malam hari. Semula mereka akan berdemonstrasi di Tugu. Namun polisi melarang mereka dengan alasan keamanan. Sebab, di Tugu telah berjaga ratusan orang dari angkatan muda Forum Ukhuwah Islamiyah atau FUI yang menolak aksi tersebut.
Dari pantauan Tempo, ratusan orang dari FUI berjaga di Tugu, Titik Nol, dan Taman Parkir Abu Bakar Ali pada sore hingga petang hari. Sebagian dari mereka membawa bendera-bendera berwarna hijau bersama motor mereka di jalan. Dalam aksi itu, mereka menolak keras LGBT melalui spanduk-spanduk.
SHINTA MAHARANI