TEMPO.CO, Jakarta - Ketua KPK Agus Rahardjo berharap revisi Undang-Undang KPK tidak dilakukan sekarang. "Sebaiknya nanti saja saat IPK-nya sudah mencapai 50," kata Agus di kantornya pada Senin, 22 Februari 2016.
Menurut Agus, saat ini IPK (Indeks Persepsi Korupsi) di Indonesia baru mencapai angka 36. "IPK 50 itu nanti kalau tindak pidana korupsinya sudah sangat sedikit, Insya Allah," kata Agus. Ukuran itu, katanya, hanya sebatas saran dan masukan. Sebab, pemain utama dalam revisi ini adalah Presiden dan DPR. "Nanti beliau yang tentukan legislasinya," katanya.
Presiden Joko Widodo bersama DPR memutuskan menunda revisi UU KPK, yang menjadi polemik publik akhir-akhir ini. Agus mengatakan UU KPK memang belum sempurna. Revisi tetap perlu karena jika tak direvisi sama sekali, juga tidak benar. "Tapi masukan kami, sebaiknya yang direvisi bukan itu dan bukan sekarang," katanya.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman mengaku belum mengetahui perihal penundaan revisi UU KPK. Benny memastikan rapat paripurna tetap akan digelar DPR Selasa, 23 Februari 2016.
Menurut Benny, revisi UU KPK telah masuk prioritas Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2016. Sudah ada 8 fraksi yang setuju revisi UU KPK dilanjutkan. Revisi UU KPK yang diajukan mengatur tentang kewenangan KPK merekrut penyelidik dan penyidik independen. Syaratnya, penyelidik dan penyidik harus berpengalaman minimal dua tahun. KPK juga diberikan kerwenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Selain itu, aturan baru mengatur soal Dewan Pengawas. KPK harus mendapatkan izin penyadapan dan penyitaan dari Dewan Pengawas. Presiden akan memilih langsung anggota dewan.
Mantan Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan aturan penyadapan sama dengan mengurangi kewenangan KPK. Menurut Indriyanto, penyadapan merupakan marwah KPK dalam membantu proses menemukan dua alat bukti.
Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan revisi UU KPK tak jelas tujuannya. Menurut dia, pemerintah seharusnya membuat kajian terlebih dahulu mengenai mekanisme kerja KPK. Setelah mengaudit, lalu berkonsultasi dengan ahli hukum. Jika tidak, revisi UU KPK bisa berdampak merusak sistem penegakan hukum.
VINDRY FLORENTIN