TEMPO.CO, Indramayu - Sedikitnya 16 ribu hektare lahan belum ditanami padi di Kabupaten Indramayu. Pasokan air yang kurang dan juga berlebih menjadi penyebabnya. Berdasarkan informasi Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, target tanam padi pada musim tanam rendeng (penghujan) di Kabupaten Indramayu mencapai 125 ribu hektar.
Namun hingga akhir Februari ini realisasi tanam padi di Kabupaten Indramayu mencapai 109 ribu hektar. “Ini berarti masih ada sekitar 16 ribu hektare lagi lahan yang belum bisa ditanami,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, Firman Muntako, Senin 22 Februari 2016.
Areal yang belum melakukan tanam padi tersebut tersebar di Kecamatan Karangampel, Kandanghaur dan Krangkeng. Namun ditargetkan ada Maret mendatang lahan sudah bisa ditanami padi seluruhnya.
Saat ditanyakan penyebab belum ditanaminya lahan tersebut hingga kini, Firman mengungkapkan diantaranya disebabkan kurangnya pasokan air.Seperti terjadi di Kecamatan Kandanghaur. “Tapi kondisi sebaliknya terjadi di Kecamatan Krangkeng,” kata Firman.
Di kecamatan Krangkeng kendalanya justru karena kelebihan air. Ini terjadi karena posisi lahan yang terhalang jalan raya. Akibatnya air menjadi sulit terbuang sehingga harus menunggu kering dulu agar bisa ditanami. “Ke depannya kami arahkan petani di daerah itu agar menanam padi dengan system gogo rancah,” kata Firman.
Wakil Ketua KTNA Kabupaten Indramayu, Sutatang, saat dihubungi mengaku khawatir dengan mundurnya musim tanam rendeng. “Karena akan berdampak buruk pada musim tanam gadu (kering) mendatang,” kata Sutatang. Musim tanam gadu 2016 baru akan dimulai saat cuaca sudah kembali memasuki musim kemarau. Sehingga tanaman padi pun menjadi rawan puso akibat kekeringan. “Pemerintah harus lebih memperhatikan permasalahan air untuk petani, terutama saat musim kemarau mendatang,” kata Sutatang.
Sementara itu, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Karawang sedang mendalami gejala pencemaran udara di area pesawahan. Setyadharma, Kepala BPLH Karawang mengatakan telah mengukur tingkat pencemaran udara di sekitar area sawah Kecamatan Telaga Sari dan Rengasdengklok.
Kebiasaan petani menumpuk jerami usai panen dianggap sebagai penyebab munculnya gas metana di area sawah. Menurut Setyadharma, proses pembentukan gas metana disebabkan bercampurnya jerami busuk dengan pupuk kimia. "Ketika menguap, suhu udara di sekitar sawah menjadi lebih tinggi," ujar Setyadharma, saat ditemui di kantornya, Senin, 22 Februari 2016.
Tingginya kadar gas metana di udara akan menjadi masalah. "Masalah kesehatan akan timbul bila terpapar metana dalam konsentrasi tinggi. Sehingga berbahaya bagi manusia," kata dia.
Setyadharma mengatakan, sedang menentukan langkah untuk mengatasi hal itu. Namun, ia mengaku kesulitan untuk mengukur emisi gas metana di sawah-sawah yang tercemar. Pasalnya, tidak ada Alat Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di area pertanian. "Hanya ada dua ISPU yang ada di Karawang. Letaknya di pusat kota dan wilayah industri. Belum ada yang dipasang di sawah," katanya.
Ia mengatakan, solusi yang efektif untuk mengatasi dampak pencemaran gas metana adalah penanaman banyak pohon. "Efek akut dari paparan gas metana adalah kekurangan oksigen. Bila banyak pohon, kadar metana bisa netral, karena pohon menambah kadar oksigen,"
IVANSYAH | HISYAM LUTHFIANA