TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah mengatakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi mungkin saja diperlukan. Namun harus dilihat dari sisi kebutuhannya. "Kebutuhan siapa dan kapan dipenuhinya," katanya dalam sebuah diskusi di Daniel S. Lev Law Library, Jakarta Selatan, Senin, 22 Februari 2016.
Chandra mengatakan saat ini tak ada kejelasan mengenai kebutuhan siapa yang bakal terpenuhi dalam pengajuan revisi UU KPK di parlemen. Bahkan inisiatornya pun tak jelas. Berdasarkan dokumen yang ia dapatkan pada 16 Juni 2015, kata Chandra, rapat kerja Kementerian Hukum dan HAM dengan Badan Legislatif mencatat DPR sebagai inisiator. Dalam laporan lain disebutkan pemerintah yang mengusulkan. Kemenkumham juga pernah mengirim surat bantahan mengajukan revisi UU KPK.
Karena itu, menurut Chandra, pengajuan revisi UU KPK ini penuh ketidakjelasan. Kedua lembaga, kata Chandra, tampak malu-malu dan saling melempar badan. "Apa yang terjadi? Kenapa saling melempar?" ujarnya.
Pada diskusi itu, Chandra juga menegaskan bahwa momentum merevisi UU KPK bukan saat ini. Menurut dia, yang lebih perlu diubah bukan UU KPK, tapi UU Pemberantasan Korupsi. "Hukum materialnya perlu diperbaiki dulu sebelum hukum formilnya," tuturnya.
Dia menilai Pasal 2 dan 3 dalam UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 paling perlu direvisi karena banyak penafsiran yang tidak pas atas aturan itu.
Baca juga: Kejaksaan Agung Hentikan Kasus Novel Baswedan
Selain itu, Chandra mengatakan, Indonesia perlu membenahi sistem penegakan hukum yang dinilainya kerap ke luar jalur. Peran setiap penegak hukum juga perlu diperjelas dan disesuaikan dengan sistem tersebut.
Daripada merevisi UU KPK, Chandra menawarkan solusi. "Untuk sementara, pemerintah dapat membuat peraturan pemerintah yang mengatur lebih rinci mekanisme kerja antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan tanpa melanggar UU," ucapnya. Pasalnya, Chandra mengatakan, mengubah undang-undang tak mudah.
Pembahasan revisi UU KPK akan diputuskan Selasa, 23 Februari 2016. Dalam draf revisi UU KPK yang baru, terdapat empat poin yang akan direvisi: prosedur penyadapan dan penyitaan, keberadaan dewan pengawas, rekrutmen penyelidik dan penyidik independen, serta penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
VINDRY FLORENTIN