TEMPO.CO, Bengkulu - Pasca terusir dari tanah ulayat yang diklaim pemerintah masuk wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), 378 kepala keluarga masyarakat adat Semende Nasal Kabupaten Kaur hidup terlunta-lunta dalam pelarian di dalam hutan selama berbulan-bulan.
Puluhan anak-anak pun ikut bersama orang tua mereka, tinggal di pinggiran sungai dan hutan meninggalkan sekolah mereka pada saat itu.
Namun saat ini Ranti bersama 11 orang anak lain dari Dusun Lama Desa Semende Nasal itu dapat menikmati kembali hak untuk bersekolah di Sekolah Khusus dengan Pelayanan Khusus (SKPK) di Kota Bintuhan Kabupaten Kaur.
Meski saat ini mereka hidup berjauhan dengan orang tuanya, namun Rianti bahagia bisa kembali bersekolah dan menjalani hidup normal selayaknya anak-anak lain. "Senang sekali bisa bersekolah, cuma kadang suka sedih karena jauh dari orang tua," kata Rianti Polos.
Rianti dan 150 orang anak lainnya yang saat ini bersekolah di sekolah khusus setingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama itu, merupakan anak-anak khusus yang secara sosial, ekonomi dan budaya bermasalah.
Mereka dikumpulkan, dari desa-desa terpencil dan sekitar hutan di kabupaten Kaur untuk mendapatkan pendidikan gratis. Karena sebagian besar anak-anak di sekolah ini berusia 5-8 tahun, maka di sekolah ini menurut Kepala SKPK Mustakimah terdapat 11 orang tenaga pengasuh yang akan membimbing dan menemani anak-anak ini seusai jam sekolah berakhir.
"Kerja disini harus dengan hati, karena kita menghadapi anak-anak dengan berbagai latar belakang masalah, mulai dari kemiskinan, sosial maupun budaya," kata Mustakimah.
Ia mengatakan di sekolah khusus ini terdapat 20 orang tenaga guru yang semuanya lulusan perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti IPB, Universitas Padjajaran dan Universitas Bengkulu. "Kita juga melengkapi sekolah dengan fasilitas yang sama dengan sekolah reguler mulai dari komputer, internet, laboratorium dan perpustakaan," jelasnya.
Anak-anak disini menurut Mustakimah diajarkan untuk mandiri untuk mengurus barang dan kebutuhan sekolah mereka masing-masing. Pihak sekolah menurutnya tidak hanya menyediakan pengasuh, tapi juga tukang masak mengingat anak-anak ini masih di bawah umur.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Kaur M Daud, pasca pengusiran warga tersebut pihaknya mendapatkan perintah dari bupati untuk menyelamatkan anak-anak korban konflik tanah adat tersebut.
"Anak-anak ini harus kita selamatkan, mereka adalah aset bangsa dan berhak untuk mendapatkan hidup dan pendidikan yang baik seperti anak lainnya, maka kita melakukan survei ke kampung-kampung terutama dipedalaman untuk mengajak mereka ke sekolah," kata Daud saat ditemui di Kaur Sabtu 20 Februari 2016.
Daud sendiri mengatakan dia secara langsung menjemput anak-anak tersebut, seperti anak-anak korban konflik pengusiran tanah Dusun Lama. Untuk masuk ke desa tersebut pihaknya berjalan kaki kurang lebih 6,5 jam, masuk jauh ke dalam hutan TNBBS.
PHESI ESTER JULIKAWATI