TEMPO.CO, Bojonegoro-Sekitar 603,5 hektare tanaman padi usia rata-rata dua bulan puso di sejumlah tempat di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Banjir yang menggenangi 38 desa pada 9 - 12 Februari 2016 menyebabkan tanaman padi rusak dan membusuk.
Sebagian besar padi yang tergenang banjir berada di tepi Bengawan Solo. Petani memanfaatkan lahan sekitar sungai terpanjang di Pulau Jawa ini sebagai kawasan produktif karena bisa ditanami di musim penghujan maupun kemarau. ”Yang kena banjir kawasan produktif,” ujar Sekretaris Dinas Pertanian Bojonegoro Bambang Sutopo, Jumat, 19 Februari 2016.
Data di Dinas Pertanian menyebutkan total lahan pertanian yang tergenang banjir seluas 1.946,5 hektare. Adapun kriteria kerusakannya 585 hektare di bawah 25 persen, 758 hektare di bawah 50 persen dan 603,5 hektare di atas 50 persen.
Lahan pertanian produktif di Bojonegoro, di antaranya berada di Kecamatan Kalitidu, Malo, Trucuk, Kasiman, Kanor, Kapas, Gayam, Dander, Ngraho dan Padangan. Kecamatan-kecamatan itu dilewati aliran Bengawan Solo.
Menurut Bambang sawah-sawah di sekitar Bengawan Solo sebenarnya cukup diuntungkan. Dia mencontohkan, pada musim kemarau, petani di beberapa desa di Kecamatan Kalitidu, Gayam dan Malo, masih bisa tanam padi. Airnya berasal dari Sungai Bengawan Solo, yang dipompa dan dialirkan ke sawah. “Jadi, keuntungannya besar,” imbuhnya.
Namun, saat musim hujan, biasanya beberapa sawah di pinggir Sungai Bengawan Solo kebanjiran. Tetapi, banjir dari sungai tidak separah tahun sebelumnya. Semenjak dibangun Bendung Gerak berlokasi di tengah Bengawan Solo di Kalitidu dan Trucuk, banjir relatif bisa dikendalikan.
Kusnin, petani di Desa Kebunagung Bojonegoro, mengatakan banjir Bengawan Solo biasanya memang terjadi pada Februari. Pada banjir kali ini sebagian sawahnya terendam dan tanaman padinya rusak kategori sedang. ”Sebagian tanaman masih hidup,” katanya.
SUJATMIKO