TEMPO.CO, Jakarta - Sosiolog Ignas Kleden, dalam Teras Budaya Tempo bertajuk 'Puisi dan Politik' ceramah dan pembacaan sajak Goenawan Mohamad, Jumat, 19 Februari 2016, mengatakan puisi dan politik memang berhubungan, tapi berbeda titik beratnya.
"Satu hal yang saya pikir soal puisi dan politik adalah keduanya merupakan seni mengolah kemungkinan," kata Ignas di Gedung Tempo, Palmerah, Jakarta Selatan pada Jumat, 19 Februari 2016.
Menurut Ignas, sastra khususnya puisi, mengubah hal yang nyata menjadi bersifat mungkin. "Itu sifat puisi, karena ada sistem metafora."
Dihubungkan dengan politik, Ignas berpendapat bahwa demokrasi juga sempat dianggap sebagai 'kemungkinan', bukan hal yang bisa nyata terwujud. "Namun, pengertian demokrasi berkembang. Dulu kekuasaan menurun berdasarkan darah dan keturunan, sekarang berdasarkan prestasi dan pencapaian," kata dia.
Tanggapan Ignas dihubungkan dengan kumpulan puisi penyair Goenawan Mohamad yang merupakan pendiri Tempo pada 1971. "Puisi Goenawan sangat banyak, tak semua saya lihat. Saya ambil 18 buah saja dan malam ini saya bahas 5."
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang hadir dalam acara tersebut pun membacakan salah satu puisi Goenawan berjudul 'Soneta Dua Dentang'. Pembacaan puisi oleh Retno berujung pada tepuk tangan meriah.
Goenawan sempat mempresentasikan hubungan sajak dan politik dunia, serta perkembangannya dalam sejarah.
"Puisi itu selalu punya problem dengan kekuasaan. Di jaman modern, banyak penyair dihukum di Uni Soviet." ujar Goenawan.
Kumpulan puisi Goenawan dibacakan juga oleh sejumlah artis, seperti Sha Ine Febriyanti dan Slamet Rahardjo.
Acara rutin Tempo ini pun dihadiri sejumlah menteri dan pejabat negara seperti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki.
YOHANES PASKALIS