TEMPO.CO, Makassar - Johanis Amping Situru, terpidana kasus korupsi dana bantuan tidak terduga Rp 385 juta dan dana kemasyarakatan Rp 510 juta dari ABPD 2003-2004, mengajukan sejumlah bukti baru atau novum dalam sidang peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 18 Februari. Bekas Bupati Tana Toraja dua periode itu menyerahkan sejumlah dokumen dalam sidang yang dipimpin hakim Ibrahim Palino.
Seusai sidang, Amping menyatakan novum yang ia serahkan diharapkan mampu memenangkan perkaranya setelah kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung. Wakil Ketua DPRD Tana Toraja itu tidak memerinci bukti baru yang diserahkan ke majelis hakim. Namun Amping menyebut beberapa novum itu antara lain hasil audit investigasi Badan Pengawasan dan Keuangan Pembangunan (BPKP) dan hasil pemeriksaan tahunan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Saya mencari keadilan. Tadi saya sudah menyerahkan sejumlah bukti berupa dokumen ke majelis hakim,” kata Amping. Dia berharap upaya hukumnya kali ini berhasil. Sebab, ia mengklaim sama sekali tidak menikmati sepeser pun uang negara, tapi dituduh korupsi.
Amping menjelaskan, hasil audit investigasi BPKP mencantumkan kerugian negara. Namun, kata dia, kerugian negara tersebut tidak ada yang dinikmatinya ataupun merupakan tanggung jawabnya. “Begitu pula dengan hasil pemeriksaan BPK. Tidak ada temuan kerugian negara,” ucapnya. Sayangnya, bukti itu tidak pernah diajukan jaksa dalam persidangan. Ia menduga jaksa hanya menaksir sendiri kerugian negara.
Kekhilafan penegak hukum dalam menjatuhkan hukuman, kata Amping, menjadi alasannya mengajukan PK. Ia juga mempertanyakan alasan dia dipersalahkan dalam kasus korupsi dana APBD. Padahal, tidak sepeser pun dana itu mengalir kepadanya, tapi diduga mengalir ke sekitar 40 legislator Tana Toraja. “Mengapa tidak meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang menerima? Kenapa malah saya tidak terima disuruh bertanggung jawab?” ujarnya.
Amping juga memprotes adanya hukuman uang pengganti dalam putusan Mahkamah Agung. Hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan hukuman uang pengganti hanya diberikan kepada mereka yang menerima dan menikmati aliran dana. Amping menyebut hukuman uang pengganti yang dijatuhkan kepadanya pun terlalu berat. “Saya juga melampirkan putusan MA terkait dengan vonis kasus lain sebagai pembanding,” katanya.
Dalam putusan MA setelah kasasinya ditolak, hukuman Amping diperberat. Sebelumnya, Amping divonis pada tahun 2011 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar dengan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan penjara.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, serta diminta mengganti kerugian negara sebesar Rp 895 juta.
Putusan itu membuat Amping dan jaksa penuntut umum melakukan upaya hukum banding. Hasilnya, putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama serta menolak banding jaksa dan terdakwa. Kemudian kasasi dilakukan. Namun hukumannya malah diperberat menjadi 6 tahun penjara. Selain itu, Amping dibebani denda Rp 5 juta dan uang pengganti Rp 895 juta.
Dalam persidangan itu, jaksa penuntut umum, Azhar, meminta salinan dokumen yang diajukan oleh Amping kepada majelis hakim. Hal itu dimaksudkan untuk menjadi bahan rujukan bagi jaksa penuntut umum dalam menyusun tanggapannya di persidangan selanjutnya. Namun permintaan itu ditampik oleh majelis hakim yang dipimpin Ibrahim Palino. Hakim berdalih dokumen itu hanya diberikan kepada majelis hakim. "Sidang ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan dengan agenda tanggapan jaksa," ujar hakim.
TRI YARI KURNIAWAN