TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menerima wakil pekerja rumah tangga (PRT) se Jakarta dan sekitarnya Senin, 15 Februari 2016. Bertepatan dengan Hari PRT Nasional, 15 Februari, mereka melaporkan sejumlah kasus kekerasan yang menimpanya.
Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pembantu Rumah Yangga (Jala PRT), Lita Anggraini, mengatakan masih banyak kasus kekerasan yang menimpa PRT. "Ada 103 kasus di awal 2016," kata Lita. Menurut data Jala PRT, sebanyak 327 kasus kekerasan terjadi pada 2012, pada 2013 ada 336 kasus, dan 408 kasus di tahun 2014. Sedangkan pada 2015 ada 402 kasus kekerasan. "Sebagian dari kasus ini pelakunya adalah majikan dan 30 persen adalah agen," ujar Lita.
Kekerasan ini terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, psikis, hingga seksual. Bahkan, Lita mengatakan, sebagian besar kasus itu adalah multikasus. Misalnya, PRT mengalami kekerasan fisik sekaligus ekonomi.
Baca juga: Aktivis Minta DPR Segera Sahkan UU Pembantu Rumah Tangga
Menurut Lita, sebagian besar kasus ini terungkap karena pendampingan melalui organisasi. Ada PRT, kata dia, yang disiram air panas, upah tidak dibayar 2-3 bulan, bahkan 6 bulan bekerja hanya dibayar Rp 200 ribu. Ada pula PHK sepihak oleh majikan, serta penelantaran PRT anak.
Kejadian ini, di antaranya di wilayah Medan, Lampung, Jabodetabek, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar. Lita mencontohkan, di Makassar, ada empat anak dari Nusa Tenggara Timur yang dibawa oleh pamannya. Mereka bekerja sebagai PRT dan dilarang sekolah oleh majikannya.
Menurut Lita, 75 persen kasus kekerasan terhadap PRT berhenti di kepolisian. "Ada yang sampai ke persidangan tapi hukumannya ringan," kata Lita. Selain pemaparan oleh Lita, beberapa PRT juga menceritakan kekerasan yang dialaminya di hadapan komisi ketenagakerjaan itu. Sementara puluhan PRT yang lain, hadir untuk mendukung rekan-rekannya. Mereka mengaku telah mendapat izin dari majikan masing-masing.
Simak: Filipina Lebih Oke Lindungi Pekerja Daripada Indonesia
Santi, PRT di sebuah apartemen mengadukan kekerasan yang dialami rekannya sesama PRT. "Teman saya disiram air panas oleh majikannya, tapi kasus itu ditutupi pihak manajemen apartemen," kata dia. Menurut Santi, selain kekerasan fisik, PRT di apartemen juga kerap di-PHK sepihak, gaji tidak dibayar, dan mengalami kekerasan seksual. Menurut dia banyak kekerasan PRT yang tidak terungkap di balik apartemen.
Lalu, Diah Ludiah, yang menjadi PRT sejak usia 12 tahun. Diah bertanya, kenapa di tahun 2016 ini masih banyak PRT anak yang mengalami kekerasan? Dia sendiri kerap mendapat perlakuan sewenang-wenang oleh majikannya. Seperti, gaji dibayar kurang atau tak digaji saat sakit.
Meski begitu, Diah mengaku akan menjalani pekerjaan ini seumur hidupnya. "Karena saya mencintai pekerjaan saya," kata Diah. "Saya memohon kepada pak Dede Yusuf untuk memberikan perlindungan hukum terhadap PRT di Indonesia," ucapnya.
Baca: Menaker Akan Bikin Aturan Soal Pekerja Rumah Tangga
Dede Yusuf mengatakan, RUU PRT masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2016. "Selama sepuluh tahun, RUU ini memang terhambat karena belum ada titik temu antara pekerja dengan pemberi kerja," kata dia.
Dede juga memberikan penjelasan kepada PRT tentang era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). "Esensinya adalah peraturan, kedua adalah keterampilan pekerjanya," ujarnya. Ia menambahkan, ketika PRT mendapat perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, maka perlu dilindungi. "Doakan kami sehat, kami akan dorong terus (RUU disahkan)," kata Dede yang diamini para PRT.
REZKI ALVIONITASARI