TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung, M. Prasetyo, mengatakan revisi UU Terorisme menjadi sangat penting dan mendesak. Dalam revisi UU Terorisme, pemerintah memberikan perhatian antara lain pada 12 poin. Pertama diperlukan adanya kategorisasi tindak pidana terorisme yang baru.
"Kategorisasi itu meliputi larangan masuknya barang yang potensial sebagai bahan peledak, serta memperdagangkan senjata kimia, biologi, radiologi, mikroorganisme, tenaga nuklir serta zat radioaktif untuk melakukan tindak pidana terorisme," kata Prasetyo saat rapat bersama anggota Komisi I dan III DPR pada Senin, 15 Februari 2016.
Kedua, menurut Prasetyo, larangan menjalin hubungan dengan orang atau organisasi radikal tertentu yang berada di luar negeri yang terlibat dalam terorisme. Selama ini, ketika ada organisasi yang mengirimkan anggotanya ke luar negeri untuk bergabung dengan tindakan yang diduga terorisme di luar negeri, katanya, masih belum bisa dijerat dengan undang-undang.
"Ketiga, larangan latihan militer di luar negeri atau latihan bersama dengan organisasi radikal tertentu untuk persiapan melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia atau negara lain," katanya.
Keempat, lanjut Prasetyo, mengadakan kontak baik secara langsung atau tidak langsung dengan kelompok radikal. Kelima, kata Prasetyo, menganut, mengembangkan ajaran atau paham ideologi kelompok radikalisme terorisme kepada orang lain. "Keenam, bergabung atau mengajak bergabung kelompok radikal terorisme," katanya.
Ketujuh, menurut Prasetyo, merekrut orang atau kelompok lain untuk bergabung dengan kelompok radikal. Kedelapan, mengirim orang untuk bergabung kelompok radikal. "Kesembilan, membantu atau menyumbangkan harta benda kekayaan untuk kegiatan, keperluan dan kepentingan kelompok radikal terorisme," katanya.
Kesepuluh, masih menurut Prasetyo, kategori tindakan terorisme adalah membantu mempersiapkan kegiatan yang dilakukan kelompok radikal. Sebelas, melakukan kekerasan atau mengancam kekerasan dan memaksa orang atau kelompok untuk bergabung dengan kelompok radikal.
"Duabelas memperjualbelikan atau memperdagangkan bahan peledak atau memperdagangkan komponen senjata kimia, biologi, radiologi, mikroorganisme, tenaga nuklir untuk kepentingan radikalisme," katanya.
Di tempat yang sama, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan berharap pembahasan revisi UU Terorisme bisa cepat selesai. Luhut menilai revisi UU Terorisme masih lemah dibandingkan aturan di negara lain seperti Singapura dan Malaysia.
Menurut Luhut, dalam revisi itu nantinya para penegak hukum bisa melakukan tindakan pencegahan terorisme lebih baik lagi. Dicontohkan, jika terdeteksi kelompok teroris berkumpul dan merencanakan serangan, sudah bisa ditangkap. "Bisa kami tangkap selama tujuh hari, jadi bisa tahu jaringannya," kata Luhut.
Kasus terorisme terakhir berupa serang bom dan tembakan di Jalan Thamrin, Jakarta pada 14 Januari 2016. Sebanyak 8 orang tewas, empat di antaranya pelaku yang dideteksi jaringan Bahrun Naim. Korban luka dalam peristiwa itu lebih dari 20 orang, lima orang di antaranya anggota kepolisian. Luhut mengungkapkan ada 33 orang tersangka yang ditangkap dalam kasus terorisme, sejak bom Thamrin.
Luhut menjelaskan, pemerintah ingin penguatan pencegahan tindak pidana terorisme yang dimasukkan dalam poin-poin revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu. Kewenangan bisa menangkap orang yang diduga sedang melakukan koordinasi tindakan terorisme selama tujuh hari masuk dalam poin revisi.
Menurut Luhut, tujuan dari kewenangan itu agar pemerintah dapat menekan dan mengurangi kemungkinan kelompok terorisme beraksi. Ini merupakan bagian dari tindakan penanggulangan terorisme secara dini. "Sehingga polisi dan BIN bisa bekerja sama dengan baik," ujarnya.
DIKO OKTARA | ANTARA