TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menolak hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual berupa pengebirian. Hukuman kebiri dinilai tidak menyelesaikan masalah. "Pemberian hukuman kebiri dapat dikualifikasikan sebagai hukuman keji dan tidak manusiawi," kata Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila di kantornya, Jakarta, pada Senin, 15 Februari 2016.
Laila mengatakan hukuman tersebut tidak sesuai dengan Pasal 28 G ayat 2 Konstitusi Indonesia. Warga Indonesia berhak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Selain itu, ada pula aturan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. (Baca Komisi Perlindungan Anak Minta Pelaku Kejahatan Seks Dikebiri)
DPR menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak. Ada dua pasal yang akan direvisi yaitu Pasal 81 dan 82.
Dalam Pasal 81, pelaku kejahatan seksual dihukum penjara paling singkat 10 tahun dan maksimal 15 tahun. Dalam ayat 4 disebutkan jika jumlah korban lebih dari satu, mengalami luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, atau meninggal, hukuman bagi pelaku ditambah sepertiga dari ancaman penjara. Pelaku juga diberi tambahan hukuman kebiri kimia paling lama sesuai dengan pidana yang dijatuhkan.
Hukuman kebiri kimia yang dimaksud adalah memasukkan bahan kimiawi anti androgen, baik melalui pil atau suntikan, ke dalam tubuh pelaku. Tujuannya, memperlemah hormon testosteron. (Baca Menteri Yasona Serahkan Draf RUU Kebiri ke Puan)
Laila mengatakan pemberian hukuman kebiri, baik kimiawi atau operasi medis, termasuk pelanggaran hak. "Hak atas persetujuan tindakan medis dan hak perlindungan atas integritas fisik dan mental," katanya.
Di negara lain, hukuman kebiri hanya menjadi pilihan, bukan tambahan hukuman seperti yang direncanakan di Indonesia. Kebiri diberikan atas izin terpidana.
Selain itu, pengebirian akan bertentangan dengan kode etik kedokteran. "Setiap tindakan yang dokter lakukan harus berdasarkan persetujuan pasien," kata Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga.
Jika pasien menolak, maka muncul masalah baru. "Apakah putusan pengadilan bisa otomatis diterapkan dengan masalah pertentangan kode Etik tersebut?" kata Sandra.
Dengan pertimbangan tersebut, Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidar mengatakan pengesahan Perppu ini tidak akan menyelesaikan masalah. "Kalau hanya dilakukan kebiri, tidak menjawab masalahnya," katanya.
VINDRY FLORENTIN