TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Supratman Andi Agtas, mengatakan sikap penolakan Partai Gerindra terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sudah bulat. Namun, ia mengatakan, Gerindra bisa saja setuju revisi dilakukan asalkan poin kewenangan penyadapan oleh KPK diubah.
"Kalau usul kami, kepada semua pejabat publik, wajib hukumnya untuk disadap. Enggak perlu minta izin ke mana-mana (untuk menyadap). Kalau itu disetujui, Gerindra setuju revisi," kata Supratman saat ditemui di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Kamis, 11 Februari 2016.
Menurut Supratman, langkah seperti itu merupakan langkah konkret untuk menguatkan fungsi KPK sebagai lembaga pengawas. Saat ini, poin wewenang penyadapan masuk dalam salah satu poin revisi UU KPK. Pada Pasal 12A poin revisi, penyadapan yang dilakukan KPK harus dilakukan dengan seizin dari Dewan Pengawas KPK, kecuali dalam keadaan mendesak.
Supratman menilai poin ini akan melemahkan KPK secara fungsi. "Kalau tak ada kewenangan penyadapan dan harus minta izin ke dewan pengawas, sementara dewan pengawas itu diangkat, dipilih, dan diberhentikan oleh presiden, wah, itu bisa berbahaya bagi demokrasi dan kita semua," ujar Ketua Badan Legislasi DPR itu.
Menurut dia, tak ada jaminan jika revisi dilanjutkan akan terjadi pelemahan-pelemahan lain terhadap KPK. "Karena DPR, kan, lembaga politik, bisa melebar ke mana-mana dan tanpa arah. Kalau dilakukan, itu sama saja membunuh KPK sendiri," tutur Supratman.
Dalam rapat pandangan mini-fraksi di Badan Legislasi DPR kemarin, sebanyak sembilan fraksi menyatakan setuju terhadap revisi UU KPK. Hanya Partai Gerindra yang menyatakan penolakan. Adapun beberapa poin yang disetujui untuk direvisi terkait dengan pembuatan Dewan Pengawas KPK, penambahan wewenang pembuatan surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3) oleh KPK, wewenang penunjukan penyidik dan penyelidik independen oleh KPK, serta wewenang menyadap oleh KPK.
EGI ADYATAMA