TEMPO.CO, Yogyakarta - Tewasnya 26 orang akibat menenggak minuman keras oplosan di Yogyakarta membuat publik bertanya soal peran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam menegakkan aturan. Padahal, lima kabupaten kota yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki peraturan daerah yang membatasi peredaran minuman keras.
Namun itu tidak membuat Satpol PP jadi bergigi. Mereka justru menyebut peredaran miras di Yogyakarta dibekingi pihak tertentu.
Baca Juga:
Hal inilah yang disampaikan para anggota Satpol PP yang diundang Komisi A DPRD Yogyakarta pada Rabu, 10 Februari 2016, saat mengikuti rapat dengar pendapat ihwal minuman keras oplosan yang menewaskan 26 orang itu.
Kepala Seksi Pembinaan dan Pengawasan Pol PP Sleman Sutriyanto mengungkapkan adanya beking orang-orang kuat dalam pembuatan dan pemasaran minuman keras. Beking itu biasanya melibatkan aparat dari kepolisian atau tentara. Sedangkan Pol PP dalam bertugas tidak dipersenjatai.
“Kami ini seberapa kuat? Kalau penjual minuman keras itu ada bekingnya, mbok Pol PP juga di-backup aparat,” kata Sutriyanto.
Kepala Bidang Penegakan Peraturan Satpol PP Bantul Anjar Arin pun membeberkan kasus peredaran minuman keras di Bantul juga melibatkan organisasi kemasyarakatan sebagai beking. “Akhirnya warga pasang spanduk bebas minuman keras di kampungnya. Warga yang mengusir kalau ada yang mabuk di sana,” kata Anjar.
Ganjaran hukuman menurut Perda pun tak membuat pelaku jera. Rata-rata sanksi yang diatur dalam Perda adalah denda maksimal Rp 50 juta atau kurungan 3-6 bulan. Di Sleman, pelaku pernah diganjar denda Rp 4 juta. Di Bantul ada 15 orang disidangkan selama 2015 dengan denda sampai Rp 20 juta. Namun rata-rata denda hanya berkisar Rp 1-2 juta.
Dalam persidangan, hakim meminta ada bukti surat dari laboratorium yang menunjukkan minuman tersebut mengandung kandungan zat berbahaya. “Untuk cek ke laboratorium saja bisa menghabiskan Rp 1 juta. Sedangkan denda cuma Rp 1 juta. Enggak cucuk (sepadan),” kata Kepala Satpol PP Kulon Progo Duana Heru Supriyanto.
Personel Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai unsur penegak Perda di Dinas Pol PP DIY pun terbatas. Dari 20 orang petugas PPNS, hanya dua orang yang bisa berpraktek lantaran mempunyai gelar sarjana.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian Operasional Dinas Ketertiban Yogyakarta Totok Suryonoto yang menyampaikan unek-unek malah mendapat teguran dari Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto. Teguran itu terkait dengan ketidakhadiran Kepala Dinas Ketertiban Yogyakarta karena terganjal aturan baru Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti.
“Ada SOP baru. Kalau mengundang kepala dinas harus ada surat kepada wali kota,” kata Totok. Eko pun hanya geleng-geleng kepala. “Kondisi genting begini kok masih mengurus administrasi,” kata Eko.
PITO AGUSTIN RUDIANA