TEMPO.CO, Boyolali - Sebagian bekas pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang ditampung di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, mengaku takut pulang ke kampung halamannya. Apalagi setelah Majelis Ulama Indonesia menetapkan, Gafatar sebagai kelompok atau aliran sesat.
“Meski baru sepekan di Kalimantan, tetap saja kami bakal ikut dicap sesat. Kami takut kalau nanti pulang ke kampung halaman ditolak masyarakat,” kata Anwar, 41 tahun, asal Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Jumat, 5 Februari 2016.
Anwar bersama istri dan empat anaknya termasuk dalam rombongan 19 warga bekas pengikut Gafatar asal Aceh (terdiri dari lima keluarga). Mereka tiba di Asrama Haji Donohudan, sejak Kamis pekan lalu. Dia bersama rombongan 1.281 orang bekas pengikut Gafatar dari Kalimantan, yang diangkut dengan kapal Dharma Fery.
Bermodal uang sekitar Rp 50 juta dari tabungan dan hasil menjual sepeda motor, serta seluruh perabotan rumah, Anwar dan keluarganya memutuskan merantau ke Kota Samarinda, Kalimantan Timur. “Saya cuma ikut teman-teman di sana,” katanya, yang sebelumnya bekerja sebagai pedagang di Aceh.
Hingga kini, dia belum mendapat informasi, rencana Pemerintah Provinsi Aceh akan menjemputnya. “Kalau sudah dipulangkan ke Aceh, kami minta jaminan keamanan dari pemerintah. Kalau bisa, kami juga minta diikutkan transmigrasi,” kata Anwar.
Bekas pengikut Gafatar asal Lampung Tengah, Pangat, 45 tahun, mengaku beruntung masih ditampung di Asrama Haji Donohudan Boyolali, saat MUI menetapkan Gafatar sebagai kelompok atau aliran sesat. “Kalau penampungannya di Lampung, kami khawatir mendapat reaksi keras warga asli sana,” kata dia yang merupakan keturunan keluarga transmigran asal Banyumas, Jawa Tengah.
Pangat bersama istri dan satu anaknya yang baru 1,5 bulan tinggal, di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Sama dengan Anwar, Pangat juga menghuni Asrama Haji Donohudan Boyolali, sejak Kamis pekan lalu. “Dulu saya bawa modal hampir Rp 100 juta, hasil menjual lahan 0,5 hektare, dua ekor sapi, sepeda motor, dan barang-barang berharga,” katanya.
Selama di Ketapang, Pangat mengaku hanya menghabiskan waktu untuk bertani bersama para bekas pengikut Gafatar lain. “Pemerintah seharusnya berterima kasih kepada kami karena berniat mewujudkan program swasembada pangan mandiri,” kata dia.
Pangat mengaku tidak habis pikir dengan keputusan MUI, yang menetapkan Gafatar kelompok atau aliran sesat. Menurut dia, para bekas pengikut Gafatar di Kalimantan hanya bercocok tanam. “Saya ini muslim. Saya juga salat. Kerjanya cuma bertani. Kenapa yang dicap sesat bukan para koruptor,” katanya.
Menurut Pangat, pengumuman ihwal sesatnya Gafatar, juga dinilai kurang tepat dari sisi waktu. Sebab, saat ini masih banyak bekas pengikut Gafatar masih di tempat-tempat penampungan yang belum jelas nasibnya. “Mereka itu orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tidak mau peduli penderitaan kami,” kata dia.
DINDA LEO LISTY
Ratusan Eks Gafatar Tiba di Yogyakarta oleh tempovideochannel