TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) Richard Joost Lino, Jumat, 5 Februari 2016, mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia didampingi penasihat hukumnya, Maqdir Ismail.
Lino akan menjalani pemeriksaan pertama sebagai tersangka dugaan korupsi anggaran pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) pada 2010. “Iya, siap diperiksa,” kata Maqdir sebelum memasuki gedung KPK. Lino sendiri tak berbicara apa pun.
Kedatangan Lino itu setelah KPK melayangkan surat panggilan dua kali. Seharusnya dia menjalani pemeriksaan Jumat pekan lalu. Namun Lino tidak hadir dengan alasan sakit. KPK kemudian mengirim surat panggilan kedua pada Selasa lalu.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengisyaratkan penahanan terhadap Lino. Penahanan dilakukan bergantung pada hasil pemeriksaan hari ini.
Saut berujar, semakin cepat Lino ditahan semakin baik. Dia menuturkan penanganan kasus Lino memang sebaiknya dipercepat. "Agar tidak numpuk, karena kerjaan lain sudah nyusul juga," katanya kepada Tempo.
Baca: Ini Temuan BPK Soal Korupsi Pengadaan Crane PT Pelindo II
Rencana penahanan Lino juga pernah disampaikan Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan setelah KPK memenangi praperadilan atas gugatan Lino di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa lalu. "Bisa jadi langsung penahanan," ucap Basaria.
Lino ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Desember 2015. Penetapannya sebagai tersangka dilakukan setelah KPK menerbitkan surat perintah penyidikan tertanggal 15 Desember 2015.
Lino diduga menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terkait dengan pengadaan QCC di Pelindo II pada 2010. Modusnya, Lino memerintahkan pengadaan tiga unit QCC dengan menunjuk langsung perusahaan dari Cina, Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. QCC itu seharusnya ditempatkan di Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak.
Menurut Kepala Informasi dan Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha, potensi kerugian negara akibat perbuatan Lino mencapai Rp 10 miliar lebih. "Untuk angka pastinya masih minta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk menghitung," ujarnya.
BAGUS PRASETIYO