TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menerima petisi dari Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok di Jakarta, Kamis, 4 Februari 2016. Dalam petisi yang sudah ditandatangani oleh 19.691 orang itu, netizen mendesak agar Menteri Bambang mencabut penghargaan atas penerimaan cukai kepada empat perusahaan rokok pada 26 Januari lalu.
Jalal, peneliti dari Koalisi Rakyat Bersatu dan Lingkar Studi Corporate Social Responsibility menuturkan perusahaan rokok tak selayaknya mendapatkan penghargaan atas penerimaan cukai itu. ”Sebab, penghitungan cukai itu masih amat jauh dari beban kerugian yang ditimbulkan akibat racun rokok,” katanya sebelum menyerahkan hasil yang dibuat di laman Change.org.
BACA: Penanda Tangan Petisi Cukai: Merokok Haram Hukumnya
Menurut Jalal, rokok dibebani pajak rokok lantaran harus membayar dampak negatif yang ditimbulkan karenanya (pollutar pays). Untuk Indonesia, pemerintah menggunakan UU Cukai No. 39/2007 untuk menetapkan cukai kepada rokok.
Di negara-negara maju seperti Kanada, kata Jalal, cukai diberikan amat tinggi. Targetnya, untuk mengurangi konsumsi dan produksi. ”Dengan harga tinggi untuk sebatang rokok, orang akan berpikir dua kali untuk mengkonsumsinya,” tuturnya. Selain itu, cukai tinggi bisa dipakai untuk mengkompensasi seluruh dampak negatif yang timbul sepanjang proses produksi dan daur hidup produk.
Sayang, kata Jalal, besaran cukai di Indonesia masih jauh dari ideal. “Cukai juga masih sangat jauh dari mengkompensasi dampak negatif dari proses produksi dan produknya.”
Ia memberikan contoh dampak negatif dari proses produksi rokok berasal dari budidaya dan pengeringan tembakau, ketenagakerjaan di pertanian tembakau, tata niaga tembakau, dan ketenagakerjaan di pabrik rokok. ”Misalnya di Temanggung, deforestasi untuk penanaman tembakau menyebabkan 30 hektare hutan bablas.”
Menurut Jalal, seharusnya cukai dihitung secara komprehensif demi mengetahui berapa angka yang adil untuk seluruh produksi/konsumsi rokok di Indonesia. ”Di kita, nilai cukai rokok belum dihitung benar,” ujar Jalal.
Dalam pandangan Jalal, baru Kementerian Kesehatan yang menghitung dampak kesehatan konsumsi rokok di Indonesia. Pada 2013, ketika cukai rokok besarannya Rp103 triliun, dampak negatif kesehatannya itu sekurang-kurangnya Rp378,75 triliun. ”Itu pun belum menghitung semua. Artinya, besaran cukai rokok itu jauh sekali di bawah nilai idealnya,” katanya.
BACA: Menteri Keuangan Terima Petisi Pencabutan Penghargaan Industri Rokok
Karenanya, menurut Jalal, perusahaan rokok tak layak mendapatkan penghargaan. ”Cukai Indonesia itu kebangetan kecilnya. Yang membayar cukai konsumen, pemerintah bayar untuk biaya kesehatan, uangnya dari rakyat juga melalui pajak yang kita bayarkan.”
ISTIQOMATUL HAYATI