TEMPO.CO, Jakarta - Polisi Maritim Malaysia menangkap satu tim nelayan tradisional sekitar pukul 10.30, Sabtu, 30 Januari 2016. Polisi Malaysia dengan kapal bernomor lambung 3225 menangkap 1 nakhoda dan 4 anak buah kapal (ABK) dengan ukuran 5 grosston (GT) yang berasal dari Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Berita ini diterima Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Ketua KNTI Sumatera Utara Tajruddin Hasibuan mendapat informasi dari Suhaidi, 40 tahun, orang tua salah satu ABK, M. Chairil, yang berhasil mengabarkan penangkapan itu. "Ketika hendak pulang dari melaut, mereka ditarik ke Penang oleh polisi maritim," kata Tajruddin, Kamis, 4 Februari 2016.
Wakil Ketua Sekretaris Jenderal KNTI Niko Amrulah mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia untuk mengirim bantuan hukum kepada lima nelayan tersebut. “Surat sudah dikirim sejak tiga hari lalu, tapi belum ada balasan dari pemerintah,” kata Niko. "Saat ini belum tahu kondisi mereka (lima nelayan itu) di Penang seperti apa."
Menurut Niko, polisi maritim Malaysia diduga melanggar kesepakatan bersama antara Indonesia dan Malaysia dalam Memorandum of Understanding Common Guidelines Concerning Treatment of Fishermen by Maritime Law Enforcment Agencies. Kesepahaman tersebut, ujar Niko, telah ditandatangani kedua negara sejak 27 Januari 2012.
Konsekuensinya, kata Niko, apabila ada nelayan tradisional baik Indonesia maupun Malaysia melanggar batas kedaulatan, tidak dilakukan penangkapan. "Seharusnya membantu mengawal kapal tradisional kembali ke perairan asal negaranya, kecuali melakukan illegal fishing dan menggunakan bahan kimia," katanyaa.
Niko menambahkan, pelanggaran atas memorandum tersebut sama saja melanggar Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 pasal 51 ayat 1. Pasal itu berisi kewajiban negara kepulauan melindungi dan menghormati perairan yang menjadi wilayah tangkap nelayan tradisional. "Sejak ditangkap sampai saat ini belum ada informasi resmi keadaan mereka,” ucapnya.
ARKHELAUS W.