TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan layanan perlindungan terhadap saksi dan korban menarik perhatian dunia internasional. Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai merujuk pada undangan dari United Nations Counter Terorism Center di Amerika Serikat. "LPSK diundang untuk menjelaskan penanganan korban terorisme," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melalui keterangan tertulisnya, 3 Februari 2016.
Abdul mengatakan perhatian dunia terhadap LPSK ini tak lepas dari peningkatan jumlah kasus yang ditangani lembaga itu. Pada 2011, permohonan perlindungan ke LPSK hanya 340 kasus. Permohonan terus meningkat di dua tahun berikutnya, yakni 655 kasus, dan 1.560 kasus. Pada 2014, permohonan sempat turun menjadi 1.076 kasus. Namun tahun lalu meningkat lagi hingga 1.590 kasus.
Menurut Abdul, aturan perlindungan saksi korban sempat berubah di tingkat internasional yang mempengaruhi Indonesia. Namun pola perlindungan saksi korban di Indonesia justru menjadi rujukan. “Bahkan Badan Khusus Kriminalitas Uni Eropa (Europol) juga sempat mengundang LPSK untuk mendengar paparan pelaksanaan rehabilitasi psikososial di Indonesia,” kata Abdul.
Peningkatan permohonan perlindungan dari masyarakat, kata Abdul, tak lepas dari kesadaran akan pentingnya hak saksi dan korban dalam pengungkapan tindak pidana. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 semakin memantapkan posisi hak saksi dan korban tindak pidana. “Hak saksi dan korban dalam peradilan semakin dijamin negara,” kata Abdul.
Wakil Ketua LPSK Askari Razak mengungkap sejumlah alasan seseorang tak ingin menjadi saksi tindak pidana. “Alasannya bisa berupa ketakutan si saksi akan intimidasi, bujuk rayu, atau kekhawatiran jika nanti statusnya malah naik menjadi tersangka,” kata Askari, Rabu, 3 Januari 2016. “LPSK juga tentu mendukung kerja aparat penegak hukum dalam mengungkap sebuah tindak pidana.”
YOHANES PASKALIS