TEMPO.CO, Malang - Pemerintah Indonesia diminta melakukan otopsi independen atas jenazah Eka Suryani. Eka adalah tenaga kerja wanita yang bekerja di Hong Kong, yang tewas di Fujian, Cina, pada Sabtu pagi, 23 Januari 2016.
Perempuan berusia 23 tahun itu berasal dari Dusun Mulyosari RT 22/RW 08, Desa Mulyosari, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Aktivis Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hongkong Eni Lestari menilai kematian Eka misterius. Di kalangan buruh migran di Hong Kong dan Taiwan tersiar kabar bahwa Eka meninggal lantaran kedinginan pada saat mandi.
Jasad ibu muda dengan satu anak itu ditemukan dalam kondisi telanjang di kamar mandi seraya memegang shower. Dugaan lain, Eka meninggal setelah terkena arus pendek listrik alias korslet yang bersumber dari sistem pemanas air di kamar mandi.
“Terus terang kami curiga, dia meninggal karena dibunuh. Polisi Hong Kong tidak bisa mengintervensinya karena kejadian penganiayaan yang pernah disampaikan almarhum TKP (tempat kejadian perkara)-nya di Cina. Hasil autopsil dari polisi di Cina belum ada, tapi kami tak bisa sepenuhnya bersandar pada hasil autopsi polisi karena ini menyangkut soal kepercayaan saja,” kata Eni Lestari kepada Tempo, Selasa, 2 Februari 2016.
Baca: Seorang Pekerja asal Malang Meninggal di Cina
Kecurigaan itu berdasarkan komunikasi terakhir Eka dengan suaminya, Indra Teguh Wiyono, pada Jumat malam, 22 Januari lalu. Suami-istri ini berbincang selama 30 menit mulai pukul 23.26 WIB melalui layanan telepon WhatsApp. Selain menceritakan penderitaan yang dialaminya, Eka juga memberitahu akan balik dari Cina ke Hong Kong pada Minggu, 24 Januari, dan ingin segera memutuskan kontrak. Eka tidak ingin bekerja lagi di Hong Kong karena sudah terlanjur trauma.
Sejam kemudian Eka tak bisa dihubungi sama sekali. Indra menelepon sebanyak enam kali. Para aktivis JBMI di Hong Kong memperkirakan Eka sudah meninggal pada Sabtu dinihari, 23 Januari, tak lama setelah berbincang dengan dengan sang suami.
Selain itu, berdasarkan keterangan keluarga dan kawan-kawannya, Eka diketahui tak pernah mempunyai riwayat sakit serius. Eka diberangkatkan PT Surabaya Yudha Citra Perdana, perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia (PPTKIS) di Malang, 6 bulan silam atau sehabis bulan suci Ramadan tahun lalu. Ketibaan Eka di Hong Kong diurusi AIE Employment Center, mitra kerja PT Surabaya Yudha Citra Perdana.
Dua bulan pertama di Hong Kong, Eka masih diperlakukan baik. Namun, memasuki bulan ketiga dan seterusnya, Eka sering dikasari dan bahkan dianaya. Eka sering mengeluhkan perlakuan buruk tersebut dilakukan majikan perempuan. Dia diberi makan dua kali sehari dengan jam kerja diperpanjang tanpa istirahat. Dia pun disuruh membersihkan rumah saudara majikan dan juga diharuskan bekerja sebelum dan sepulang dari liburan.
“Kami dapat beberapa laporan bahwa majikannya yang perempuan itu sangat bertemperamen. Si majikan sering memukuli dengan tangan atau barang lain yang ada di dekatnya. Eka juga pernah diusir dan dia mendatangi agen untuk minta pertolongan. Tapi malah Eka malah disuruh balik ke rumah majikan karena potongan agen 6 bulan belum lunas,” kata Eni, aktivis JBMI asal Kediri.
Marjenab, sejawat Eni Lestari, menambahkan, pada Desember 2015 majikan membawa Eka ke Fujian, Cina, untuk merayakan tahun baru Cina. Tapi di sana Eka diperkerjakan di sebuah proyek pembangunan hotel milik sang majikan. Padahal, menurut hukum Hong Kong, tindakan majikan tersebut ilegal.
Selama di Cina, Eka pernah dituduh mencuri uang milik seorang warga setempat. Uang dolar Hong Kong yang dibawa Eka disita. Padahal uang yang hilang bermata uang yuan. “Eka juga sering dipukuli di sana,” kata Marjenab.
Karena itu, untuk memperjelas penyebab kematian Eka Suryani, JBMI meminta pemerintah melakukan autopsi independen sebagai penyeimbang autopsi yang dilakukan kepolisian Cina. Autopsi oleh pemerintah Indonesia, baik oleh kantor perwakilan diplomatik Indonesia di Hong Kong dan Cina, sangat diperlukan untuk “memaksa” pemerintah Cina menginvestigasi, menangkap, dan mengadili siapa pun yang terlibat dalam kematian Eka Suryani.
“Hasil autopsi tidak bisa diserahkan begitu saja ke pemerintah Cina. Makanya, pemerintah kita segeralah lakukan autopsi independen dan membentuk tim medis yang bisa menjelaskan hasil autopsi tersebut, termasuk hasil autopsi dari Cinta nantinya,” ujar Eni.
Kasus yang dialami Eka, menurut Eni, sangat mirip dengan kejadian yang dialami Erwiana Sulistyaningsih, seorang TKW asal Ngawi, Jawa Timur, yang disiksa majikannya di Hong Kong. Bedanya, majikan Erwiana divonis bersalah oleh Pengadilan Hong Kong pada Februari 2015 dan Erwiana masih hidup hingga sekarang.
ABDI PURMONO