TEMPO.CO, Denpasar - Ribuan warga Bali dari berbagai elemen melakukan aksi demonstrasi menolak reklamasi Teluk Benoa pada Jumat, 29 Januari 2016. Unjuk rasa ini sekaligus untuk mengawal pembahasan uji publik Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) reklamasi Teluk Benoa di Kantor Gubernur Bali.
Ribuan orang yang mengikuti aksi demonstrasi ini berasal dari desa-desa adat pesisir dekat lokasi reklamasi. Berbagai kalangan seniman juga ikut mendukung perjuangan menolak reklamasi Teluk Benoa. Aksi mereka berpusat di depan Kantor Gubernur Bali.
“Kita semua datang membawa amarah suci dalam barisan menolak reklamasi Teluk Benoa,” kata penyair I Wayan ‘Jengki’ Sunarta saat berorasi di depan massa.
Dalam kesempatan tersebut, Jengki juga membacakan puisi berjudul Teluk Benoa. Ditemui Tempo usai orasi, Jengki mengatakan puisi itu ditulis sejak Agustus 2015 lalu sebagai wujud aspirasinya menolak reklamasi.
“Gerakan anak-anak muda di Bali yang mengibarkan panji-panji tolak reklamasi adalah salah satu inspirasi puisi ini,” ujar Jengki.
Aktivis 1998 itu juga menjelaskan sebagai sebuah pulau kecil di Indonesia, Bali selalu menjadi ajang pelampiasan keserakahan para investor yang selalu mengatasnamakan pariwisata untuk memperdaya masyarakat Bali. Jengki mencontohkan proyek reklamasi Pulau Serangan dan proyek Bali Nirwana Resort di Tanah Lot, Tabanan, sebagai dua contohnya.
“Sejak lama Bali selalu dianiaya oleh kesewanang-wenangan investor rakus. Jangan biarkan ini terus berulang-ulang,” tuturnya.
Jengki menuturkan dalam sepenggal puisinya yang berbunyi. “Jika suatu saat aku mati, aku tak perlu kuburan. Bakar mayatku dan tebar abuku di laut. Di mana aku bisa bercanda dengan ikan-ikan cahaya, kepiting, ganggang, ubur-ubur dan segala penghuni niskala.” Puisi itu, kata dia, merupakan refleksi betapa pentingnya laut dalam filosofi umat Hindu di Bali.
“Orang Bali kalau mati, abunya akan ditebar ke laut. Jika laut diuruk (reklamasi) ke mana abu akan ditebar? Maka laut harus dijaga kelestariannya,” kata Jengki.
BRAM SETIAWAN