TEMPO.CO, BANDUNG - Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengatakan lembaganya mendukung adanya revisi Undang-Undang 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. “Terutama dalam proses penyelidikan, kami ingin Densus 88 bisa melakukan proses penghentian transaksi setelah mendapat informasi dari PPATK,” katanya di Bandung, Rabu, 27 Januari 2016.
Agus mengatakan aparat kepolisian baru bisa menyentuh rekening pada saat proses hukum di kepolisian berada di level penyidikan setelah meminta pemeriksaan aliran dana pada PPATK. “Kita ingin ini di proses penyelidikan, jadi lebih awal. Polisi juga bisa melakukan penghentian transaksi, bukan pembekuan rekening. Kalau transaksi sedang berjalan, bank bisa kita minta hentikan,” katanya.
Dia mengaku PPAT sudah mengirim surat resmi dukungan revisi UU Terorisme, berisi usulan itu pada pemerintah. “Ini sudah kami sampaikan surat resmi pada Menkopolhukam karena (revisi) ini inisiatif pemerintah. Sudah disampaikan per tanggal kemarin kepada Menkopolhukam dengan tembus pada Presiden, Kapolri, Kejaksaan, BIN, dan BNPT,” kata Agus.
Menurut Agus, kewenangan penghentian transaksi saat ini ada di PPATK lewat Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencucian Uang. “Penghentian transaksi itu ada di UU anti-‘money laundering’, kewenangannya diberikan kepada PPATK. Kita ingin eksten, perpanjang sampai Densus, tapi setelah koordinasi dengan PPATK dan khusus hanya untuk kejahatan terorisme,” katanya.
Agus mengatakan lembaganya menginginkan agar kewenangan penghentian transaksi khusus pada Tindak Pidana Terorisme diatur dalam Undang-Undang karena menyangkut hak warga negara. “Karena itu merampas hak orang, sehingga harus diatur oleh Undang-Undang, enggak bisa diatur di bawahnya,” katanya.
Menurut Agus, ada dua praktek dalam mencegah aliran dana pada kejahatan terorisme di Indonesia. Pertama, pembekuan rekening mengacu pada daftar yang diterbitkan Dewan Keamanan PBB lewat resolusi UNSC 1267 khusus pada aktivitas kelompok Al-Qaeda dan Taliban. “Itu bisa dilakukan proses pembekuan serta-merta melalui proses di lima lembaga, yaitu PPATK, BNPT, Kepolisian, Kementerian Luar Negeri, melalui penetapan pengadilan. Dan dilakukan oleh polisi melalui OJK,” ujarnya.
Agus mengatakan sepanjang 2015, misalnya, pembekuan rekening sudah dilakukan pada 14 rekening atas nama perorangan, dan empat rekening atas nama organisasi yang tersangkut dalam daftar jaringan teroris internasional Al-Qaeda dan Taliban. “Freezing without delay itu sudah ada. Kita bekukan tahun lalu,” katanya.
Praktek kedua menyasar aliran dana jaringan terorisme dalam negeri yang mengacu pada UU Terorisme dan hukum acara dalam KUHAP. “Ada perampasan juga, tapi itu pakai proses pembekuannya di proses penyidikan. Kalau (terorisme jaringan) internasional baru terduga sudah bisa dibekukan, tapi prosesnya penetapan pengadilan,” kata Agus.
Agus mengatakan hukum di Indonesia saat ini tidak memungkinkan dilakukan proses pembekuan aliran dana saat status pelakunya masih terduga. “Hak individu harus dilindungi. Kalau mau dikurangi harus lewat undang-undang,” tambahnya.
Saat ditanya soal aliran dana pelaku teror di Thamrin Jakarta, dia enggan membeberkan. “Baiknya tanya ke polisi karena masih dalam proses penyidikan. Saya takut ganggu proses polisi saja,” kata Agus.
AHMAD FIKRI