TEMPO.CO, Bojonoegoro - Namanya Axel, 28 hari, bayi laki-laki pasangan Sujarno,34 tahun, dan Mariyatun, 30 tahun. Axel lahir di kampung eks anggota Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar di sebuah tempat di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, 28 Desember 2015.
Ceritanya, Axel lahir dengan bantuan dokter lewat operasi bedah caesar dalam kondisi hiruk-pikuk di perkampungan yang dihuni eks anggota Gafatar.
Warga Kalimantan Barat menolak kehadiran para pendatang yang sebagian berasal dari Pulau Jawa itu. Mereka membuka lahan hutan, kemudian bercocok tanam. Dalam situasi yang memanas itu, Mariyatun hendak melahirkan. Dalam situasi yang serba terbatas, Mariyatun dan suaminya meminta petugas kesehatan membantu proses persalinan. Ketika itu, kondisi ibu satu anak ini tidak memungkinkan melahirkan normal.
Kemudian datang bantuan medis yang menawari wanita asal Dusun Taji, Desa Sukorejo, Kecamatan Tambakrejo—sekitar 40 kilometer dari Kota Bojonegoro—untuk mendapatkan bantuan bedah caesar. Operasi berhasil dengan lancar dan bayi laki-laki berambut hitam lebat dengan kulit sawo matang itu lahir sehat.
Belum genap satu pekan, orang tuanya memberinya dengan nama Axel. Nama itu sendiri dipilihnya bersama suaminya, Sujarno, di perkampungan eks anggota Gafatar.”Saya buat sendiri namanya,” ujar Mariyatun kepada Tempo di Bojonegoro, Senin, 25 Januari 2016.
Baca: Hibur Eks Gafatar, Gus Ipul Tantang Menyanyi Bareng
Namun, setelah lahir, beberapa pekan kemudian, suasana di perkampungan eks anggota Gafatar di Kabupaten Mampawah memanas. Warga di perkampungan menolak keberadaan organisasi Gafatar. Mereka mengusir para pendatang dari tanah Jawa itu, kemudian membakar harta bendanya. Rumah, peralatan elektronik, baju, dan perkakas dapur hangus dilalap api.
Pada saat itu, bayi Axel bersama kedua orang tua dan kakak perempuannya, Nurul Fatimah, mengungsi di tempat penampungan milik pemerintah Kabupaten Mempawah dan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Selama beberapa hari, terhitung sejak pembakaran, bayi yang usianya belum genap satu bulan itu diajak ke sana-kemari oleh orang tuanya. “Saya bersyukur bayi saya tetap sehat,” kata Mariyatun.
Padahal selama hidup di penampungan bersama ratusan eks anggota Gafatar, keluarga Sujarno hidup terbatas. Kalau soal makanan, tentu bisa tercukupi. Namun cuaca musim hujan dan warga kampung yang menolak kehadiran organisasi ini jadi tekanan hidup keluarga tersebut. Berada di perantauan dengan cita-cita hidup bertani dan menjadi anggota Gafatar pelan-pelan berubah jadi petaka. ”Saya belajar bertani dan jadi anggota Gafatar atas kemauan sendiri,” ujar Sujarno bersama istri dan anak bayinya kepada Tempo di Bojonegoro, Senin, 25 Januari 2016.
Baca: Dipulangkan ke Madiun, Pengikut Gafatar Bingung Soal Pekerjaan
Kemudian, tawaran dari pemerintah pusat yang mengkoordinasi kepulangan eks anggota Gafatar datang. Dalam kondisi serba tidak pasti, eks Kepala Bidang Pemuda dan Olahraga Gafatar Bojonegoro ini menyambut ajakan untuk balik kampung. Akhirnya, dia bersama lebih dari 370 eks anggota Gafatar pulang menaiki kapal dari pelabuhan di Pontianak, Kalimantan Barat, menuju Tanjung Perak, Surabaya, Jumat, 22 Januari 2016. Akhirnya, setelah merantau lebih dari empat bulan, Sujarno dan keluarganya kembali ke kampung halaman.
Yang menarik, selama berada di penampungan dan perjalanan jauh dari Kalimantan Barat ke Surabaya, bayi Axel dalam kondisi sehat. Axel jarang menangis dan kondisi tubuhnya juga tidak panas. “Bayi ini bisa jadi pengingat hidup,” ujar Mariyatun, istri Sujarno.
Baca: Eks-Gafatar: Dipulangkan ke Kampung Bukan Solusi
Camat Tambakrejo Ngasiaji mengatakan akan berupaya membantu sosialisasi terhadap keluarga eks anggota Gafatar agar bisa diterima kembali di masyarakat. Awalnya dimulai dengan pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk bisa terus memberi nasihat kepada warga eks anggota Gafatar. “Ya, pasti tetap kami pantau,” ujarnya di Bojonegoro, Senin, 25 Januari 2016. Dia menyebut ada bantuan berupa pasokan kebutuhan makanan pokok, juga bantuan kesehatan, terutama untuk bayinya, serta uang tunai dari pemerintah.”Mereka juga tetap warga saya."
SUJATMIKO