TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan catur hukumnya hanya makruh dan tidak perlu difatwakan haram. Wakil Sekretaris Jenderal MUI Tengku Zulkarnaen mempersilakan bila ulama di luar negeri memfatwa haramkan catur.
“Dalam mazhab Imam Syafi’i catur itu makruh karena membuang-buang waktu, manfaatnya enggak ada. Tapi kalau main caturnya pakai taruhan baru haram,” ujar Tengku saat dihubungi Tempo, Jumat, 22 Januari 2016.
Tengku mengatakan dalam Islam segala kegiatan harus ada manfaatnya, harus produktif. Menurut dia, catur tidak produktif dan hanya membuang-buang waktu. “Siapa bilang catur olahraga asah otak, emang abis main catur dia jadi ilmuwan dan tau-tau bisa bikin pesawat terbang,” ujar Tengku dengan bercanda.
Tengku mengatakan catur tidak akan difatwakan haram di Indonesia. Namun hukum makruhnya juga tidak dapat dihilangkan karena sifat permainannya yang sangat membuang-buang waktu.
Sebelumnya, ulama Arab Saudi, Abdulaziz al-Sheikh, menilai permainan catur cenderung seperti musik yang masuk dalam kategori kejahatan ringan. Pernyataan Abdulaziz muncul saat hadir dalam acara televisi untuk memberikan fatwa saat menjawab pertanyaan penonton terkait dengan hal keagamaan sehari-hari.
"Permainan catur adalah buang-buang waktu dan kesempatan untuk menghambur-hamburkan uang. Hal ini menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara orang-orang," tuturnya.
Abdulaziz membandingkan catur dengan pertandingan sebelum datangnya agama Islam, yakni menembak panah tanpa bulu dengan hadiah potongan daging unta. Putusannya mengacu pada ayat di dalam Al-Quran yang melarang hal yang memabukkan, perjudian, penyembahan berhala, dan ramalan.
Meskipun merupakan sosok berpengaruh di Arab Saudi, pernyataan Abdulaziz tentang larangan catur tidak berkekuatan hukum. Pemberian fatwa merupakan hal jamak terjadi sebagai bimbingan agama, tapi saran ulama tersebut tidak dianggap mengikat.
Presiden Komite Hukum Asosiasi Catur Saudi Musa bin Thaily mengatakan fatwa larangan catur itu belum memiliki efek hukum. Lewat akun Twitter-nya, dia menilai mufti itu sebagai pria tua yang hidup pada 1980-an, tidak menyadari pemain tak selalu bertaruh pada hasil pertandingan.
ARIEF HIDAYAT | ALI HIDAYAT