TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai Dewan Etik Mahkamah Konstitusi harus segera memeriksa memverifikasi beredarnya katebelece yang mengatasnamakan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. Dewan Etik, kata dia, dapat memulai proses pemeriksaan tanpa menunggu masuknya laporan. “Dewan Etik harus progresif kalau kasus ini sudah jadi wacana publik,” kata Feri kepada Tempo, Selasa 19 Januari 2016.
Menurut Feri, jika katebelece benar ditulis oleh seorang hakim konstitusi, patut diduga terjadi pelanggaran etika. Apalagi jika benar katebelece dibuat oleh pemimpin Mahkamah Konstitusi. “Tugasnya adalah menjaga konstitusi, bukan sanak saudaranya,” ujarnya. “Apabila terbukti, jelas sanksinya berat.”
Katebelece yang dimaksudkan berupa selembar memo yang diparaf seseorang bernama Arief Hidayat dan ditujukan kepada Widyo Pramono di Kejaksaan Agung. Diduga, Widyo tak lain adalah Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung. Surat tersebut disertai kartu nama berlambang garuda emas atas nama Prof Dr Arief Hidayat, SH, MS, yang diduga dikirim pada pertengahan September 2015 itu—tanggal yang ditulis tangan di kartu nama tidak terbaca jelas.
BACA:
Ini Isi Memo Katelebece yang Diduga Ditulis Ketua MK
Ketua MK Diduga Tulis Memo Katebelece ke Kejaksaan
INFOGRAFIK: Memo Katebelece Identik dengan Tulisan Ketua MK
Dalam memo tersebut, penulis surat menginformasikan bahwa dirinya telah menilai karya ilmiah Widyo. Selanjutnya, penulis juga menitipkan kerabatnya yang kini menjabat Kepala Seksi Perdata di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur, bernama M. Zainur Rochman. “Mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak,” demikian isi memo tersebut.
Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani, berharap Arief Hidayat mengklarifikasi kepada publik soal memo tersebut. “Biar enggak simpang-siur,” kata Arsul, kemarin. Selain itu, dia juga berharap publik tak terburu-buru menyudutkan Arief sebelum memo itu diklarifikasi tentang siapa penulis dan apa tujuannya.
Widyo membantah pernah menerima dan membaca memo tersebut selama menjabat Jamwas, juga sebelumnya sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Meski demikian, Widyo tak menampik kedekatannya dengan Arief Hidayat. Menurut Widyo, ketika masih memimpin Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, dia kerap mengundang Arief yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, untuk dijadikan narasumber dan ahli sejumlah masalah hukum. “Kenal dekat jauh sebelum beliau (Arief) jadi Ketua MK,” kata Widyo.
BACA:
Jaksa Widyo Pramono Akui Minta Rekomendasi Ketua MK
Diduga Titipkan Familinya, Ketua MK Disebut Langgar Pidana
Diduga Tulis Memo Katebelece, Ketua MK Bisa Langgar Etik
Arief Hidayat membenarkan pernah mengirim penilaian atau rekomendasi calon guru besar kepada Widyo. Namun dia membantah menulis memo seperti yang kini beredar. Bahkan Arief tak mengenal jaksa Zainur Rochman, yang ditulis sebagai kerabatnya. “Widyo sudah menjelaskan kepada saya soal kasus itu,” kata Arief. “Saya tak pernah memakai nama saya untuk kepentingan seperti itu.”
Meski demikian, dia tak akan menempuh jalur hukum atau mengklarifikasi secara terbuka atas munculnya katebelece tersebut. “Kalau isu seperti ini saja saya permasalahkan, Indonesia bisa sangat gaduh,” kata Arief. “Biarkan saja.”
Kepala Seksi Intelijen dan juru bicara Kejaksaan Negeri Trenggalek, David Supriyanto, membenarkan ada kesesuaian nama, jabatan, dan golongan jaksa yang tertera dalam memo tersebut dengan anggotanya. Tapi, dia memastikan, di kejaksaan, katebelece hanya berpengaruh dalam rencana mutasi. “Promosi dan pangkat tetap terikat pada prestasi dan masa kerja,” ujarnya.
MAYA AYU PUSPITASARI | ANGELINA ANJAR SAWITRI | HARI TRI WASONO