TEMPO.CO, Yogyakarta - Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta memberi izin sekitar 370 pelajar menikah secara dini pada 2015. Data itu bersumber dari Pengadilan Agama di empat kabupaten dan satu kota di Yogyakarta. Dispensasi diberikan lantaran perempuan pelajar yang masih di bawah umur--di bawah 16 tahun--telah mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD).
“Hampir pasti itu KTD. Karena jarang dispensasi menikah diminta kalau tidak hamil lebih dulu,” ujar Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta Urip Bahagia, Rabu, 20 Januari 2016.
Namun dispensasi itu belum menyelesaikan masalah pelajar yang menikah dini. Urip mengatakan pernikahan dini dan kehamilan dini itu seperti buah simalakama. Satu sisi, anak berhak untuk sekolah kembali. Di sisi lain, anak pun secara psikologis malu terhadap temannya di sekolah sehingga merasa tertekan.
Bahkan muncul opini, pelajar hamil dan menikah dini yang tetap sekolah akan memberi contoh anak-anak lain melakukan hal yang sama. “Itu masih jadi masalah yang belum ada solusinya. Kalau kami mengadvokasi anak untuk tetap sekolah,” kata Urip.
Persoalan pelajar hamil, menurut Urip, muncul karena minimnya pengetahuan dan pemahaman anak serta orang tuanya mengenai kesehatan reproduksi. “Orang tua saja bingung kenapa anak perempuannya yang masih umur sembilan tahun keluar darah. Padahal itu menstruasi,” kata Urip.
Sedangkan sekolah di Yogyakarta yang telah mempunyai kurikulum tentang kesehatan reproduksi, baru ada di Kulon Progo melalui muatan lokal. Saat ini, PKBI tengah gencar berdialog dengan para stakeholder di Bantul, Gunungkidul, dan Sleman. Bahkan mereka tengah menyempurnakan modul yang diperuntukkan bagi siswa mulai dari pendidikan usia dini hingga SMA. “Butuh pencermatan. Karena tiap anak yang berbeda usia mempunyai tahapan pendidikan reproduksi yang berbeda,” kata Urip.
Baca: Nikah Massal di Pesawat Udara
PITO AGUSTIN RUDIANA