TEMPO.CO, Jakarta - Sekelompok warga membakar pemukiman bekas anggota Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Sedikitnya, sembilan rumah ludes dibakar, Rabu, 20 Januari 2016.
"Betul, sembilan rumah,” kata ketua Gafatar Mahful Tumanurung melalui pesan pendek, Selasa malam, 19 Januari 2016.
Akibatnya, puluhan mantan anggota Gafatar tidak lagi memiliki tempat tinggal. Kini mereka kebingungan tinggal di mana. Joko, 48 tahun, koordinator kelompok eks Gafatar di Desa Sedahan, Kabupaten Kayong Utara, bingung akan tinggal di mana. Apalagi saat ini warga memaksa mereka tidak lagi tinggal di desa tersebut. Warga hanya memberi batas waktu 1 X 24 jam sejak Senin kemarin bagi para bekas anggota Gafatar untuk meninggalkan desa.
Joko dan puluhan orang rekannya hanya bisa pasrah. "Kami menyerahkan keputusan kepada pemerintah karena kami tidak tahu mau pindah ke mana lagi dan tidak punya apa-apa lagi," kata Joko saat dihubungi di Sukadana.
Menurut Joko, ia pindah dari Lampung lantaran ingin mengembangkan pertanian dari lahan yang ada di Kabupaten Kayong Utara. Modal yang diperolehnya dari menjual lahan dan harta benda miliknya sudah digunakan untuk pindah dan bercocok tanam di Desa Sedahan. Namun saat ini ia bingung mau ke mana dan menggunakan dana dari mana untuk pindah.
Di Kabupaten Mempawah, eks Gafatar juga membentuk kelompok tani yang diberi nama Pasir Sejahtera, tepatnya di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah. Mereka datang sejak Juli 2015 lalu dan membeli sejumlah lahan di desa tersebut.
Dalam surat tertulis yang dikirim atas nama koordinator Kelompok Tani Pasir Sejahtera, Dwi Adiyanto, mereka telah melaksanakan berbagai tahapan, seperti perizinan, sosialisasi, serta bersilaturahmi dengan warga dan pihak terkait. Ia mempertanyakan desakan warga yang memintanya dan kelompoknya hengkang dari areal tersebut. Seperti cara memobilisasi ratusan orang, kelanjutan hidup mereka dipertanyakan kalau harus pindah. Padahal mereka tanpa pekerjaan, tabungan, rumah, dan tanah pertanian untuk digarap.
Dwi Adiyanto mengatakan saat ini mereka dalam kondisi sangat terbatas dan hanya memiliki tanah yang ditempati saat ini. Karenanya, berat untuk mengosongkan tanah yang sudah digarap tersebut.
REZKI ALVIONITASARI | ANTARA