“Saya antar ke rumah sakit, Pak,” kata seorang lelaki. Frank minta supaya Johan, temannya, juga ditolong. Mereka lalu kembali ke Starbucks, mencoba menolong Johan. Tapi, kondisi Johan rupanya parah sehingga membutuhkan peralatan khusus. “Nanti ada tim medis yang menolong Johan,” kata lelaki itu.
Baca: Akun Bahrun Naim Ulas Bom Thamrin
Dia memapah Frank menuju mobil, yang di dalamnya sudah ada tiga orang yang terluka. Mobil menuju Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng. Dalam perjalanan, Frank meminta lelaki penolong itu menghubungi istrinya, Bivitri, di PSHK. “Saya tak ada handphone. Tolong google dan telpon PSHK,” kata Frank. Beruntung, lelaki penolong —yang tak diketahui namanya—itu bisa menemukan nomer telpon PSHK dan menghubungi Bivitri.
Syukurlah, kondisi Frank Feulner tak terlalu parah. Memar, lecet, terutama di tubuh bagian kanan. Telinga kanannya juga pekak, tak bisa mendengar. Ada serpihan kaca yang masuk menembus mata kanannya. Temannya, Johan Kieft, jauh lebih parah. Ada paku yang menembus paru-parunya. Serpihan bom juga menusuk kepalanya. Johan Kieft menjalani serangkaian operasi di RS Gatot Subroto.
Malam hari, di RS Abdi Waluyo, Tempo menemui Frank yang ditemani Bivitri. Pelan-pelan dia mengumpulkan ingatan tentang pagi horor itu. “Saya yakin, bom datang dari arah kanan saya, yaitu dari arah meja berkaki tinggi. Soalnya, tubuh saya yang kena bagian kanan,” kata Frank. Sebaliknya, Johan, yang duduk berhadapan dengan Frank, yang terkena adalah bagian kiri. Manfred Stoif, juga terluka di bagian kanan, lengan kanannya dipenuhi paku serpihan bom.
Pagi horor itu, Frank merasa “diselamatkan” oleh Johan. Postur Johan Keift yang tinggi besar, artikulasi ucapannya yang kurang jelas, membuat Frank harus duduk khidmat mendongak mengamati Johan. “Itu membuat dia lebih terekspose dan saya ada dalam proteksi badannya yang besar.”
Begitu bom meledak dari arah kanan, dari meja berkaki tinggi itu, maka Johan Keift yang lebih parah terkena serpihan bom. “Semoga operasi berjalan lancar dan Johan segera pulih,” kata Frank.
Mardiyah Chamim | Purwani D. Prabandari