TEMPO.CO, Jakarta - Kamis pagi, 14 Januari 2016, Frank Feulner mengawali hari. Dia berjanji bertemu Johan Kieft, Koordinator Unit Ekonomi Hijau PBB di Indonesia. Mereka akan bertemu di Starbucks, Sarinah, Jalan Thamrin.
“Tempat yang strategis di tengah macetnya Jakarta,” kata Frank Feulner, 44 tahun, konsultan di sebuah lembaga internasional di Jakarta, ketika ditemui di rumah sakit, Kamis, 14 Januari 2016. Berikut penuturan pria asal Jerman berkaitan dengan teror bom Thamrin, yang menyebabkan tewasnya empat warga sipil dan menewaskan empat pelakunya.
Pukul 10.02. Frank sampai di Starbucks. “Saya ingat betul karena saya cek jam di telpon genggam di saku saya,” katanya. Dia memilih duduk di sofa nyaman di barisan depan ruangan.
Pukul 10.10, Johan datang. Mereka bertukar salam. Johan memesan kopi dan kue muffin. Lalu, keduanya mulai ngobrol, tentang asyiknya liburan akhir tahun. “Johan dan keluarga ke Labuhan Bajo” kata Frank, suami Bivitri Susanti, ahli hukum di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). “Liburan yang benar-benar seru,” kata Frank.
Frank sekilas mengamati orang-orang yang ada di ruangan. Di meja dekat counter, dia melihat Manfred Stoifl, warga Austria. Juga ada beberapa pengunjung yang sedang santai menikmati kopi.
Ikuti Berita Duggan Surat Katebelece Ketua MK
Pandangan Frank tertuju pada sudut di dekat counter pemesanan, tempat sebuah meja berkaki tinggi tanpa kursi. Ada 7 laki-laki berdiri mengitari meja itu. “Aneh. Biasanya orang yang datang ke Starbucks selalu mencari sofa atau kursi yang nyaman. Ini mereka malah berdiri saja di situ, padahal masih banyak kursi kosong,” kata Frank.
Ketujuh lelaki itu berbaju hitam, salah satunya kurus dan lebih tinggi dibanding yang lain. Wajah mereka tampak serius, juga sesuatu yang tidak biasa bagi orang-orang yang datang ke Starbucks.
Pukul 10.30, ketujuh laki-laki itu beriringan keluar. Frank ingat benar, pada saat itu tak ada pengunjung yang keluar-masuk, yang keluar ruangan hanya ketujuh orang itu.
Selanjutnya: Blaarr ledakan itu