TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan sumber terorisme adalah intoleransi dan ia yakin terorisme sebagai titik puncak dari sikap intoleransi. Karena itu, Hendardi menyerukan praktek intolerasi harus dihilangkan.
"Mengajak elemen masyarakat secara berkelanjutan menolak praktek-praktek intoleransi," katanya di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Senin, 18 Januari 2016.
Baca Juga:
Peneliti dari Setara Institute lainnya, Bonar Tigor Naipospos, menjelaskan, intoleransi dapat dikategorikan ke bentuk pasif dan aktif. Intoleransi pasif berarti ia memiliki pikiran yang tak toleran. "Intoleransi aktif, memanifestasinya dengan ucapan dan tindakan," ujarnya.
Bonar melanjutkan, ada beberapa tahapan seseorang yang bertindak intoleran sampai ke tindakan teror. Setelah menjadi intoleran, seseorang bergabung dengan kelompok ekstrem. Tahapan berikutnya, ia menjadi radikal dan melakukan teror.
Bonar menuturkan tahapan itu tidak selamanya berjalan berurutan, tak harus pula orang yang intoleran menjadi ekstrem. Karena itu, pencegahan harus dimulai dari munculnya intoleransi di masyarakat.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan tahapan transformasi dari intoleran menuju tahapan terorisme bisa dilihat dari sosok Bahrun Naim. Bahrun Naim merupakan orang yang dianggap kepolisian terlibat dalam teror di sekitar Sarinah, Jakarta Pusat, pekan lalu. Bahrun Naim, kata Ismail, memenuhi kriteria tahapan yang disebutkan Bonar. "Masuk kelompok intoleran, enggak puas, memilih jalan ekstrem, kemudian jadi radikal dan melakukan teror," ucapnya.
Budayawan Benny Susetyo menyatakan intoleransi yang tak cepat diatasi akan membuat sikap tersebut kebal dari segala upaya penyadaran. "Akan jadi lingkaran kekerasan, itu yang harus diputus."
DIKO OKTARA