TEMPO.CO, Banda Aceh – Afif atau Sunakim, yang tertangkap kamera melakukan penembakan di kawasan Thamrin, Jakarta, Kamis, 14 Januari 2016, adalah alumni pelatihan teroris di Pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar.
Direktur Reserse Kriminal (DirReskrim) Polda Aceh Kombes Nurfallah memastikan dari data-data yang dimiliki polisi, Afif masuk ke Aceh awal tahun 2010 dan bergabung bersama kawan-kawannya untuk menjalani latihan di Jantho. “Saat itu ada beberapa gelombang yang masuk, dia termasuk gelombang keempat yang masuk ke Aceh,” katanya kepada Tempo, Senin, 18 Januari 2016.
Pelatihan di Jantho digelar pada awal 2009 sampai Maret 2010. Ketika aparat keamanan mengetahui keberadaan kelompok teroris tersebut, sebagian teroris tertangkap dan tewas dalam pengepungan aparat. Sebagian lagi meloloskan diri dari wilayah Aceh.
Menurut Nurfallah, Afif adalah salah satu teroris yang dapat meloloskan diri dari kepungan polisi di Jantho, Aceh, pada awal 2009 hingga Maret 2010. Kemudian beredar kabar dia tertangkap oleh aparat Densus di Pulau Jawa. “Saya tak tahu persisnya di mana, tapi yang jelas (tertangkapnya) tidak di Aceh,” katanya.
“Kepastian lokasi ditangkap mungkin bisa ditanya ke Densus,” sambungnya. Selanjutnya, Afif diproses hukum dan dipenjara. Keberadaan Afif diketahui kembali saat ikut melakukan aksi teror bersenjata di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta.
Berdasarkan data Tempo, keberadaan teroris di Jalin, Jantho, diketahui pada 22 Februari 2010. Saat itu Kapolda Aceh Irjen Adityawarman mengatakan, saat polisi melakukan penyergapan tempat pelatihan, terjadi kontak senjata. Polisi kemudian menurunkan personel dalam jumlah banyak untuk mengepung teroris.
Mereka yang tertangkap pertama kali adalah Ismet Hakiki (40 tahun), Zakky Rahmatullah (37 tahun), dan Yudi Zalfahri (26 tahun). Awalnya kekuatan mereka diperkirakan berjumlah 50 orang dengan senjata sebanyak 17 pucuk.
Selanjutnya kontak senjata terjadi beberapa kali dengan kelompok itu di Aceh. Salah satunya pada 4 Maret 2010 di Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar. Saat itu tiga orang polisi meninggal dan beberapa lainnya luka-luka. Sedangkan dua teroris juga diklaim tewas.
Kemudian pada 12 Maret 2010, aparat kepolisian menembak mati 2 teroris dalam razia di Kecamatan Leupung, Aceh Besar. Mereka yang tertembak adalah Encang Kurnia dan Pura Sudarma. Polisi juga menangkap enam lainnya serta menyita sejumlah senjata.
Polisi terus melakukan perburuan teroris di seluruh Aceh. Saat itu Kapolda Aceh mengklaim telah menangkap 31 orang dan 4 di antaranya tewas. Lokasi penangkapan termasuk di Pulau Jawa. Saat itu, polisi tidak merilis nama-nama mereka yang ditangkap secara lengkap. Mereka kemudian dibawa ke Jakarta untuk diproses hukum.
Saat berkunjung ke Aceh pada 16 Maret 2010, Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri mengatakan kelompok yang berlatih di Aceh murni dari jaringan yang terkait dengan Jemaah Islamiyah (JI), yang memang sedang mempersiapkan sesuatu dan membina link dengan wilayah lain.
Saat itu Kapolri menyebutkan secara umum dalam berbagai operasi di Aceh dan Pulau Jawa, pihak kepolisian telah menangkap 38 orang, 7 di antaranya tewas dalam berbagai operasi penumpasan teroris.
Dalam laporan Majalah Tempo, Maret 2010 yang berjudul “Agar Serambi Menjadi Mindanao”, secara terperinci Kapolri Bambang Hendarso Danuri mengatakan terdapat peran Dulmatin dalam kelompok teroris pelatihan di Aceh. Dia yang mempersiapkan pelatihan dan merekrut sejumlah anggota. Ia juga membeli dan menyuplai senjata api, amunisi, serta menyediakan dana Rp 500 juta. Dari penyergapan di sejumlah desa di Aceh Besar, polisi menemukan alat pengendali bom jarak jauh, senjata api dan amunisinya, kamera, laptop, serta pakaian tentara.
Dulmatin
Menurut sumber Tempo, Dulmatin antara lain bergabung kembali dengan Pura Sudarma alias Jaja. Ini nama penting dalam daftar buruan polisi. Ia dituduh membuat pelatihan militer di Banten sejak 2000. Salah satu pesertanya Heri Golun, pelaku peledakan bom bunuh diri di Kedutaan Australia di Jakarta, 2004. ”Jaja bisa dikatakan satu level dengan Dulmatin, tapi dia kalah populer di media massa,” kata seorang perwira tinggi polisi kepada Tempo, saat itu.
Dulmatin juga berkolaborasi lagi dengan Abdullah Sunata, yang baru bebas dari penjara karena dituduh menyembunyikan Noor Din. ”Mereka merekrut peserta pelatihan dari Jawa Tengah dan Banten,” ujar perwira itu. Meski mulai masuk Aceh setelah tsunami 2004, pelatihan serius kelompok Dulmatin dilakukan sejak awal tahun ini.
Adalah Yudi Zulfahri, anggota kelompok dari Aceh, yang mengusulkannya. Lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ini direkrut kelompok Maman Abdurrahman di Jakarta, pertengahan 2009. Ia lalu dikenalkan dengan Mansur—belakangan diketahui sebagai Dulmatin.
Usul Yudi kepada Mansur disetujui karena kelompok ini membutuhkan tadrib, pelatihan untuk persiapan jihad. Kelompok juga memutuskan Aceh menjadi tempat yang cocok buat mempersiapkan qoidah aminah, semacam awal perebutan kekuasaan, satu bagian penting untuk membangun daulah Islamiyah alias negara Islam.
Persiapan dilakukan. Mansur menunjuk Sofyan alias Abu Haikal, mantan anggota Kepolisian Resor Depok, yang lama bertugas di Aceh, buat menyiapkan latihan. ”Mansur, Jaja, dan Sunata merekrut pesertanya,” kata anggota Detasemen Khusus.
Namun mimpi menjadikan Aceh sebagai poros gerakan hancur berantakan. Detasemen khusus menyerbu tempat pelatihan mereka sejak akhir Februari. Yudi yang ditangkap membocorkan semua informasi, termasuk tempat tinggal Mansur. Belasan dari sekitar 40 peserta pelatihan ditangkap. Sisanya kabur. ***
ADI WARSIDI