TEMPO.CO, Bengkulu - Sejak Desember 2015 hingga saat ini, demam berdarah menyebabkan kematian 11 penduduk Bengkulu.
"Ini terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu Amin Kurnia pada Senin, 18 Januari 2015.
Menurut Amin, jumlah kasus demam berdarah per 31 Desember 2015 sebanyak 872 kasus. Angka kasus pada 2015 ini meningkat dua kali lipat dibanding pada 2014, yakni 464 kasus, dengan korban meninggal sebanyak 13 orang.
Amin mengimbau masyarakat, jika ada gejala panas tinggi, segera banyak minum air putih dan memeriksakan diri ke dokter.
"Bupati dan wali kota diminta meningkatkan kewaspadaan dini dengan melaksanakan beberapa program yang dibuat," kata Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu Ahmad Yuliansyah.
Ahmad mengatakan kasus demam berdarah terbanyak terjadi di Kota Bengkulu dengan 355 kasus pada 2015 dan 215 kasus pada 2014. Menyusul Rejang Lebong dengan 198 kasus pada 2015, sedangkan pada 2014 hanya 77 kasus.
Ia menjelaskan, surat edaran yang ditandatangani Penjabat Gubernur Bengkulu berisi imbauan, antara lain, menghidupkan kembali program kelompok kerja operasional demam berdarah. Pemerintah kabupaten diminta membuat gerakan satu rumah satu pemantau jentik dan peningkatan kapasitas sumber daya alam.
Dia mengakui peningkatan kasus demam berdarah, selain faktor perubahan cuaca, disebabkan oleh beberapa program pencegahan yang tidak lagi dilaksanakan.
Seperti Kota Bengkulu, yang memiliki program satu kelurahan satu sehat pada 2013, yang mampu menurunkan angka kasus demam berdarah di daerah itu. Namun, pada tahun berikutnya, alokasi dana banyak digunakan untuk fogging atau pengasapan. "Padahal itu tidak efektif," katanya.
PHESI ESTER JULIKAWATI