TEMPO.CO, Surabaya - Keputusan Pemerintah Kota Surabaya meniadakan hari bebas berkendara (car free day), yang biasa digelar setiap Ahad pagi, menuai protes dari pelaku usaha kecil dan menengah di sekitar Taman Bungkul. Mereka menilai alasan tidak ada car free day itu tidak rasional dan dianggap mematikan usaha.
“Terus terang saja kalau dari sisi pendapatan pada saat CFD bisa mendulang tinggi,” kata pemilik Kedai Ketan Punel, Wahyu Darmawan, yang lokasi dagangnya tepat di depan Taman Bungkul Surabaya, Ahad, 17 Januari 2016.
Menurut Wahyu, car free day merupakan sarana olahraga dan refreshing bagi sebagian warga dan menjadi ajang mencari rezeki bagi sebagian warga lainnya. CFD merupakan ladang bagi usaha kecil dan pedagang untuk mendapatkan limpahan rezeki lebih dibanding hari biasanya. “Bagi saya, peniadaan CFD ini bukan solusi tepat.”
Wahyu mempertanyakan alasan Pemkot Surabaya meniadakan CFD. Adapun pemerintah mengaku mendapat masukan dari aparat Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya agar warga menghindari tempat berkumpul atau kerumunan demi keamanan pascateror bom di Jakarta Pusat. “Nah, ini yang menurut saya kurang pas dalam menghindari teror bom karena masih ada upaya lain yang bisa dilakukan,” katanya.
Alasan Wahyu, di satu sisi banyak kerumunan atau tempat berkumpul yang tetap dibuka atau tidak dianjurkan tutup, seperti mal dan tempat kerumunan lainnya. Justru, kepolisian memberikan perhatian penuh pada mal dan enggan memperhatikan CFD yang banyak dibutuhkan masyarakat Surabaya. “Lantas, di mana aparat keamanan dalam CFD itu? Kenapa tidak bisa memberikan perhatian dan peningkatan keamanan?”
Wahyu yakin perasaan dan kondisi itu juga akan dialami para pedagang yang berjualan di sekitar Taman Bungkul atau sepanjang Jalan Darmo, yang biasanya berjualan di acara CFD. Ia berharap pemerintah Kota Surabaya segera mengadakan kembali CFD itu. "Tentunya dengan pengamanan dan penambahan personel yang banyak," tuturnya.
MOHAMMAD SYARRAFAH