TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengendus beberapa metode yang digunakan jaringan teroris untuk mendapatkan dana. “Polanya kini dikumpulkan oleh perorangan, lalu diberikan untuk organisasi tertentu," tutur dia, kepada Tempo, Jumat, 15 Januari 2016.
Menurut Agus, PPATK bersama beberapa lembaga kini tengah mengumpulkan data lembaga nirlaba yang ada di Indonesia. Sebab, ada dugaan dana gelap disalurkan melalui jalur tersebut. Dengan membuat daftar khusus, PPATK akan mengetahui identitas pimpinan, kegiatan, dan sumber dana lembaga nirlaba tersebut. PPATK juga akan bertemu dengan manajemen bank dalam kaitan dengan pendeteksian duit teroris.
"Bank harus mendata nasabah yang tidak pernah datang tapi transaksinya besar dan terus berjalan. Panggil nasabah yang karakter transaksinya begitu,” ujar dia.
Selain mengalirkan duit lewat organisasi dan rekening bank, Agus menuturkan, sebagian kelompok teroris menggunakan cara lama, seperti membobol kartu kredit atau merampok, kemudian memutar dananya dalam bisnis tertentu. PPATK juga mengendus kemungkinan adanya aliran dana tunai lewat perbatasan negara tetangga, seperti Filipina dan Malaysia. Karena itu, Agus meminta pemerintah mengizinkan petugas Bea-Cukai dan Imigrasi menggeledah orang-orang yang membawa dana tunai dalam jumlah besar. “Uang lintas batas harus dideteksi tujuan penggunaannya," katanya.
Akhir tahun lalu, PPATK menemukan aliran dana sebesar sekitar Rp 7 miliar, yang diduga akan digunakan jaringan teroris. Dana ini terlacak setelah PPATK bekerja sama dengan Australian Transaction Report and Analysis Center (AUSTRAC). Saat itu, PPATK mendeteksi aliran dana dari warga Australia kepada salah satu yayasan di Indonesia. Dana yang disebut untuk kegiatan amal ini ternyata masuk ke rekening salah satu warga Indonesia yang kemudian tewas dibunuh di Suriah.
Modus aliran dana berkedok amal ini dibenarkan oleh mantan Kepala PPATK, Yunus Husein. Menurut dia, dana sumbangan atau iuran tersebut bisa didapatkan dengan mudah lantaran banyak filantropi di Indonesia. Dana ini kemudian masuk ke bank yang memiliki jaringan hingga pelosok daerah. Anggota jaringan teroris kemudian menarik uang tunai dalam jumlah kecil atau sesuai dengan batas maksimal transaksi harian. “Paling tinggi sesuai dengan batas penarikan di ATM," kata Yunus kemarin.
Cara lainnya, menurut Yunus, adalah memakai sistem transaksi berbasis Internet, seperti uang elektronik (e-money) dan bitcoin. Apalagi, kata dia, sebagian dari penyedia layanan itu belum mempersyaratkan identitas atau unregistered. "Itu amat memudahkan mereka," tuturnya.
Adapun peneliti terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, menduga pembobolan kartu kredit atau rekening bank masih dilakukan oleh jaringan teroris. "Apalagi, saat ini, banyak dari mereka yang ahli dalam sistem teknologi informasi," katanya. Cara itu, tutur Taufik, pernah terungkap pada 2008-2009, saat sebuah kelompok teroris mengumpulkan duit curian dalam satu rekening tertentu.
TRI ARTINING PUTRI | FRISKI RIANA | DEVY ERNIS