TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Indonesia telah mengumumkan Bahrun Naim sebagai dalang serangan teror bom di kawasan Thamrin, Jakarta, yang menewaskan tujuh orang dan melukai 23 lainnya. Pengamat terorisme Sidney Jones, dalam surat elektroniknya kepada Tempo kemarin, menyebut Bahrun dan kelompoknya sebagai, “Mereka yang berpikir lebih luas.”
Dibanding kelompok-kelompok lain yang masih berpola pikir konvensional, kata Ketua Institute for Policy Analysis of Conflict itu, kelompok Bahrun sangat sadar teknologi. Jones memberi contoh blog Bahrun yang memuji serangan di Paris, jauh hari sebelum serangan teror Thamrin.
“Pembacanya bukan sesama milisi di Suriah, mereka terlalu sibuk. Ia jelas mengincar calon teroris di Jawa,” demikian ditulis oleh Jones, yang tengah berada di Singapura.
Pria yang dianggap berambisi menjadi pemimpin ISIS di Asia Tenggara itu pernah memiliki usaha warung Internet di Solo sebelum pergi ke Raqqa, Suriah, yang dikenal sebagai “ibu kota” ISIS. Ia menjalankan bisnis warnet dua tahun setelah menamatkan pendidikan D3 Teknik Komputer di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Menurut Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FMIPA UNS Sugiarto, hingga lulus pada 2005, nilai pria yang memiliki nama lengkap Muhammad Bahrun Naim Anggih Tamtomo ini biasa saja.
Saat memulai usaha inilah, kedekatan pria kelahiran Pekalongan 33 tahun silam itu dengan jaringan teror mulai terbangun. September 2008, Bahrun tercatat sempat bergabung dengan Jamaah Ansharut Tauhid. Dia juga disebut terafiliasi dengan Abdullah Sunata, yang ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri di Klaten, Jawa Tengah, pada 2011.
Dia kemudian bertemu dengan Purnomo Putro, yang menitipkan 533 butir peluru senjata laras panjang, 32 butir peluru 9 milimeter, dan 1 buah sarung senjata api jenis pistol. Purnomo merupakan buron kasus terorisme yang diduga masuk dalam jaringan Cirebon.
Bahrun ditangkap Densus 88 atas tuduhan pemilikan senjata ilegal pada 2010. Pengadilan Negeri Surakarta kemudian memvonisnya 2,5 tahun penjara.
Bahrun berangkat ke Suriah pada awal 2015. Ia mengajak dua istrinya dan anak-anaknya. Istri mudanya merupakan mahasiswi semester akhir di sebuah kampus swasta di Sukoharjo. Orang tua Siti Lestari, perempuan asal Demak itu, sempat berkeberatan atas niat Bahrun memperistri anak mereka karena dia telah berkeluarga. Siti kemudian menghilang pada Januari 2015.
Ihwal perjalanannya ke Suriah dituliskan Bahrun dalam blognya yang aktif selama setahun terakhir. Lewat blognya tertanggal 12 Juli 2015, ia menceritakan harus menyuap oknum imigrasi untuk memperoleh paspor dan mengacak sistem imigrasi Indonesia dan Turki untuk memperoleh visa. Ia juga menjadikan anak bungsunya sebagai “senjata” untuk lolos pemeriksaan petugas imigrasi bandara.
Kepada Reuters yang menghubunginya melalui aplikasi Telegram pada 24 November lalu, Bahrun mengaku sangat bahagia di Suriah dan tidak berniat kembali ke Indonesia. “Sangat menyenangkan tinggal di Suriah. Listrik, akomodasi, dan air gratis. Barang-barangnya juga lebih murah daripada di Indonesia.”
Sementara itu, pengamat terorisme Nasir Abbas mengatakan pelaku teror di Thamrin merupakan jaringan yang sudah lama terorganisasi. Bahrun Naim dan Afif alias Sunakim berhubungan dengan Tauhid Wal Jihad. "Aman Abdurrahman adalah pencetus atau ideologinya. Mereka membaiat Bahrun Naim," ujarnya kemarin. Dalam pengamatan Nasir, Bahrun sebelumnya berasal dari jaringan kelompok Hisbah. "Intinya, semua masih dalam satu jaringan."
Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim, Mahendradata, ragu ihwal keterkaitan Bahrun, mantan kliennya, dengan Afif alias Sunakim. Sebab, Afif yang sempat berlatih militer di Aceh sama sekali tak terkoneksi dengan Bahrun, yang sejak semula dikaitkan dengan jaringan Poso. “Polisi jangan asal menganalisis,” ujarnya.
AHMAD ROFIQ | REUTERS | TIM TEMPO